RMOLBanten. Sebagai ekspresi dukungan politik di Pilpres 2019, perang tagar sama sekali tidak bermanfaat bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bahkan, perang ini berpotensi inskonstitusional.
- Dua Gubernur Hadiri Konsolidasi Akbar, TKD Jatim Optimis Menangkan Prabowo-Gibran
- Pasal 5 Permendikbud-Ristek 30/2021 Dinilai Terselubung Seks Bebas
- RUU BPIP Disebut Upaya Makar Ideologi, FKP2B: Bubarkan BPIP!
Dalam konstitusi, elit politik hanya boleh menjelaskan program yang terukur dan menawarkan sosok para calon legislatif dan eksekutif.
Sementara persoalan ganti presiden atau tetap presiden menjadi ranah kedaulatan rakyat, otonomi rakyat, bukan intervensi dari elit politik.
"Rakyat harus merdeka menentukan pilihan. Tidak boleh terjadi penggiringan opini apalagi mengarahkan penentuan pilihan, seperti #2019GantiPresiden dan #2019TetapPresiden," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Kamis (17/5).
Perang tagar, menurutnya, menjadi tendensius kepada sosok tertentu dan tidak produktif. Bahkan, sama sekali tidak ada manfaatnya bagi rakyat, bangsa dan negara, kecuali hanya memanipulasi persepsi publik untuk tujuan prakmatis dari segelintir elit politik tertentu.
"Tagar #2019GantiPresiden versus tagar #2019TetapPresiden sangat tidak baik dari aspek pendidikan politik di tanah air," sambungnya.
Kata dia, politik harus mencerdaskan masyarakat. Untuk itu, seharusnya para elit politik bertarung pada visi misi, gagasan, ide yang tentunya diturunkan pada tingkat program yang terukur secara kualitatif dan kuantitatif.
Program ini menjadi janji politik yang harus direaliasikan dan ditagih oleh seluruh rakyat Indonesia kepada suatu regim pemerintahan tertentu dalam kurun waktu lima tahunan,†tukasnya. [ian]
- Merusak Pemerintah Lokal, Perpanjangan Jabatan Kades Bisa jadi Alat Transaksi Politik Pilpres 2024
- Hasil Survei: 73,2 Persen Publik Percaya Kinerja Polri
- Kedatangan Sekjen Tidak Bawa Rekomendasi, Calon PDI Perjuangan untuk Pilkada Surabaya Masih Misteri