PANCASILA sedang diutak-utik lagi. Ada "badan" baru
didirikan. Isinya tokoh-tokoh yang akan menjelaskan dan
mereinterpretasi sila-sila Pancasila.
Buku-buku
telah banyak diterbitkan oleh tokoh-tokoh ilmuwan besar dan para
ideolog, lagi-lagi mengenai apa arti sila-sila itu, saya yakin, juga
bagaimana mengimplementasikannya.Seminar dan kongres-kongres
Pancasila sudah bertalu-talu diadakan dan sudah sampai pada kejenuhan
tentang apa arti dan interpretasi yang tepat tentang sila-sila
Pancasila dan musti diapain Pancasila itu.
Seterusnya
malahan reformasi menjadi deformasi hingga sekarang. Barangkali
terlambat merasakan deformasi itu, lagi-lagi saat ini dibentuklah satu
badan baru untuk pembinaan Pancasila lagi, setelah satu generasi anak
bangsa sempat terlajur menjadi éla-élo, bingung, ora ngalor ora ngidul tak berideologi, dan lunturlah keindonesiaan generasi muda milenial kita.
Lebih
dari itu muncul pula menteri-menteri muda di kabinet yang barusan
lewat, yang mengatakan dengan enteng: "apa itu nasionalisme, kuno itu,
masukin aja ke dalam saku". Ada pula menteri lain yang bilang
berkali-kali kepada deputi-deputinya: "nggak usah ideologi-ideologian, best practices sajalah".
Seharusnya jika memang niat politiknya desoehartonisasi perlu dilakukan (karena
political fashion),
maka Penataran P4 tidak seharusnya dihapuskan semena-mena, BP7 tidak
ditutup semena-mena, tetapi substansi (kurikuler)-nya saja yang
"disempurnakan". Nah, sekarang badan baru dibentuk lagi dengan anggaran
besar.
Sekali lagi, Pancasila itu apa, apa arti silanya masing-masing, sudah pol dan jenuh.
Yang perlu diangkat sekarang adalah "mengapa Indonesia perlu punya Pancasila". Jawabnya singkat: "Karena kita bhinneka, kita pluralistik dan multikulturalistik, maka Pancasila diperlukan untuk mentransformasi kebhinekaan menjadi ketunggalikaan. Pancasila adalah "baju seragam" Indonesia.
Di
samping menjadi "asas tunggal" bagi negara, Pancasila adalah "asas
bersama" bagi bangsa kita yang berbeda-beda ini
(pluralistik-multikulturalistik). Di sini kita bersatu, dan dengan
bersatu semacam ini, maka ketahanan nasional kita menjadi solid.
Pancasila sebagai "asas bersama" mengubah divergensi mindset
menjadi konvergensi, merubah perselisihan dan pertentangan menjadi
kerukunan dan kedamaian, mengubah eksklusivisme kelompok menjadi
koeksistensi, merubah kekerasan kolektif menjadi toleransi dan
solidaritas.
Perlunya kita memiliki Pancasila dan berbudaya Pancasila harus melalui program kegiata pendidikan terstruktur.
Bu
Mega, (Yudy Latif), Pak Try Sutrisno dan lain-lain anggota BPIP,
harus bersikap tegas, terhadap lembaga-lembaga pendidikan kita:
statuta-statuta univerisitas/perguruan tinggi kita negeri dan swasta
harus menegaskan komitmennya pada Pancasila, menolak ideologi
individualisme neoliberalisme, dan kapitalisme.
Sekolah-sekolah
negeri dan swasta harus mengajarkan dan mempraktekkan Pancasila
(kurikum perlu segera disusun), dosen danguru segera ditatar.
Anggota-anggota Parlemen kita dan pejabat2 eksekutif kita perlu
ditatar sehingga tidak ada lagi UU dan peraturan-peraturan
perundang-undangan apapun yang bertentangan dengan Pancasila, sehingga
di bidang kehidupan sosial-ekonomi betul-betul terselenggara keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lalu BPIP macam apa yang kita
kehendaki?
Persatuan (rasa bersama) adalah inti ketahanan nasional kita,
l'union fait la force. Dari itulah kita mampu bersama-sama menjaga Tanah Air, menjaga kemerdekaan dan kedaulatan kita (menjaga
soverignty and territorial integrity) kita. Ingat kita sudah menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBP, Indonesia sendiri harus solid. Merdeka
! [***Sri Edi Swasono
Gurubesar Ekonomi UI Sri Edi Swasono