Catatan Untuk Sesjen Wantannas Letjen Doni Monardo

PANCASILA sedang diutak-utik lagi. Ada "badan" baru didirikan. Isinya tokoh-tokoh yang akan menjelaskan dan mereinterpretasi sila-sila Pancasila. Buku-buku telah banyak diterbitkan oleh tokoh-tokoh ilmuwan besar dan para ideolog, lagi-lagi mengenai apa arti sila-sila itu, saya yakin, juga bagaimana mengimplementasikannya.Seminar dan kongres-kongres Pancasila sudah bertalu-talu diadakan dan sudah sampai pada kejenuhan tentang apa arti dan interpretasi yang tepat tentang sila-sila Pancasila dan musti diapain Pancasila itu.


Seterusnya malahan reformasi menjadi deformasi hingga sekarang. Barangkali terlambat merasakan deformasi itu, lagi-lagi saat ini dibentuklah satu badan baru untuk pembinaan Pancasila lagi, setelah satu generasi anak bangsa sempat terlajur menjadi éla-élo, bingung, ora ngalor ora ngidul tak berideologi, dan lunturlah keindonesiaan generasi muda milenial kita.

Lebih dari itu muncul pula menteri-menteri muda di kabinet yang barusan lewat, yang mengatakan dengan enteng: "apa itu nasionalisme, kuno itu, masukin aja ke dalam saku". Ada pula menteri lain yang bilang berkali-kali kepada deputi-deputinya: "nggak usah ideologi-ideologian, best practices sajalah".

Seharusnya jika memang niat politiknya desoehartonisasi perlu dilakukan (karena political fashion), maka Penataran P4 tidak seharusnya dihapuskan semena-mena, BP7 tidak ditutup semena-mena, tetapi substansi (kurikuler)-nya saja yang "disempurnakan". Nah, sekarang badan baru dibentuk lagi dengan anggaran besar.

Sekali lagi, Pancasila itu apa, apa arti silanya masing-masing, sudah pol dan jenuh.

Yang perlu diangkat sekarang adalah "mengapa Indonesia perlu punya Pancasila". Jawabnya singkat: "Karena kita bhinneka, kita pluralistik dan multikulturalistik, maka Pancasila diperlukan untuk mentransformasi kebhinekaan menjadi ketunggalikaan. Pancasila adalah "baju seragam" Indonesia.
 

Di samping menjadi "asas tunggal" bagi negara, Pancasila adalah "asas bersama" bagi bangsa kita yang berbeda-beda ini (pluralistik-multikulturalistik). Di sini kita bersatu, dan dengan bersatu semacam ini, maka ketahanan nasional kita menjadi solid.

Pancasila sebagai "asas bersama" mengubah divergensi mindset menjadi konvergensi, merubah perselisihan dan pertentangan menjadi kerukunan dan kedamaian, mengubah eksklusivisme kelompok menjadi koeksistensi, merubah kekerasan kolektif menjadi toleransi dan solidaritas.

Perlunya kita memiliki Pancasila dan berbudaya Pancasila harus melalui program kegiata pendidikan terstruktur.

Bu Mega, (Yudy Latif), Pak Try Sutrisno dan lain-lain anggota BPIP, harus bersikap tegas, terhadap lembaga-lembaga pendidikan kita: statuta-statuta univerisitas/perguruan tinggi kita negeri dan swasta harus menegaskan komitmennya pada Pancasila, menolak ideologi individualisme neoliberalisme, dan kapitalisme.

Sekolah-sekolah negeri dan swasta harus mengajarkan dan mempraktekkan Pancasila (kurikum perlu segera disusun), dosen danguru segera ditatar. Anggota-anggota Parlemen kita dan pejabat2 eksekutif kita perlu ditatar sehingga tidak ada lagi UU dan peraturan-peraturan perundang-undangan apapun yang bertentangan dengan Pancasila, sehingga di bidang kehidupan sosial-ekonomi betul-betul terselenggara keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lalu BPIP macam apa yang kita kehendaki?

Persatuan (rasa bersama) adalah inti ketahanan nasional kita, l'union fait la force. Dari itulah kita mampu bersama-sama menjaga Tanah Air, menjaga kemerdekaan dan kedaulatan kita (menjaga soverignty and territorial integrity) kita. Ingat kita sudah menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBP, Indonesia sendiri harus solid. Merdeka! [***

Sri Edi Swasono
Gurubesar Ekonomi UI Sri Edi Swasono