Kintoko Dewo

PRABU Janaka diperintah Prabu Dwarawati untuk membawa kembali senjata-senjata yang hilang ke Ngamarta. Dikhawatirkan senjata-senjata kerajaan tersebut akan kembali hilang jika tidak dijaga dengan baik.

Kini yang tertinggal hanya Prabu Dwarawati, Semar dan Bagong. Ketiganya cangkrukan. Membahas masalah marcapada dan suralaya.

Terutama Semar, dia ingin tahu kabar Bagong usai naik kahyangan untuk menemui Betara Guru.

Bagong lantas menceritakan detil pertemuan hingga membuat ratunya pada dewa tersebut kehilangan akal sehat, dan hendak membinasakan Bagong dengan guntur api guntur angin.

"Eh, Bagong,” Semar mengawali, "Kowe memang nggak punya tata krama di kahyangan. Meminta Manikmaya pelem pertonggojiwo dan jambu diponirmolo. Itu kan makanan para dewa,” ujar Semar.

"Lha lapo toh, Mer, kok malah menyalahkan aku. Sampeyan harusnya bela anakmu, bukan bela adikmu. Piye toh!”

"Eh, Bagong, kowe harus sembah dewa,” tutur Semar.

"Sembah piye, Mer. Aku emosi Mer. Masa Betara Guru menyuruh bapakku supaya menyembah dia juga,” timpal Bagong.

"Eh, terus kowe ngomong opo, Gong?”

"Yo aku ora sudi. Kalau aku disuruh nyembah masih mau. Tapi kalau bapakku disuruh menyembah Betara Guru, aku yang tidak terima. Apalagi statusnya Betara Guru adalah adikmu. Masa kakang Ismaya nyembah adik. Itu dewa nggak punya aturan,” cerita Bagong.

"Iya, ya bener. Terus kowe bilang apa lagi?”

"Ya tak bilangi pukulun ini dewa model apa. Tak suruh berhenti jadi dewa, atau rakyat yang pecat dewa,” sahut Bagong.

"Ladalah, Bagong kok ya ada-ada saja, masa dewa dipecat!” Prabu Dwarawati menyahuti.

"Lha gimana lagi, sinuwun. Kalau ada dewa atau raja yang tidak berpihak pada wong cilik, ya buat apa disembah. Dewa model gitu seharusnya diurapi tahi ayam.”

"Eh, Bagong, cangkemmu dijaga ya,” balas Semar.

"Lapo toh Mer, ini cangkem-cangkemku sendiri kok sampeyan yang bingung. Seharusnya dewa itu meniru Prabu Dwarawati. Prabu Kresna ini juga titisan Dewa Wisnu. Tapi ya sopan. Bener toh, sinuwun!”

"Yo, yo, bener Bagong. Eh, ladalah aku kok malah manut Bagong,” jawab Kresna.

"Lha kan bener sinuwun. Di sini ada titisan dewa yang bisa diajak udut bareng. Mau diajak ngopi. Mau diajak guyon. Dewa sekaligus raja yang merakyat. Raja yang dibohongi kawulanya ndak marah. Tapi rajanya juga pelit,” kata Bagong mesam-mesem.

"Oh ndasmu. Yo cuma punokawan Bagong yang berani bohongi raja,” timpal Kresna.

"Salahnya sendiri raja kok mau dibohongi!”

"Wis ga usah dibahas lagi. Sekarang ada hal yang lebih penting. Aku punya kabar sekarang ada Begawan Kintoko Dewo. Begawan ini sepertinya mau bikin ontran-ontran di marcapada,” terang Kresna.  

"Waduh, ada lagi Begawan Kintoko Dewo. Itu prejengannya seperti apa, sinuwun?” Tanya Bagong.

"Prejengannya kayak Begawan Godo Gitik!”

"Ngece,” balas Bagong.

Prabu Dwarawati mengaku mendapat kabar dari intelijen kerajaan, bahwa Begawan Kintoko Dewo telah menyebar mata-mata di seluruh tempat peribadatan.

Semua tempat peribadatan dimata-matai. Sekolah-sekolah juga dimata-matai. Perkumpulan dimata-matai.

Dia menyebarkan paham anti radikal. Orang-orang berjenggot dilabeli radikal. Apalagi jika mereka memprotes kekuasaan. Jelas akan dituding menganut aliran keras. Dianggap mau menggulingkan pemerintahan sah.

Yang suka membuka aurat, suka budaya luar, akan dilabeli liberal.

"Liberal itu makanan apa, ndoro?” Tanya Bagong.

"Emboh, Gong.”

"Kok raja tidak tahu liberal toh.”

"Yang tahu intelijenku, Gong. Nanti tak tanya bagian intelijen.”

"Sinuwun, yang punya jenggot kan banyak. Kakek Abiyasa berjenggot. Ndoro Antasena berjenggot. Prabu Baladewa berjenggot. Betara Indra juga punya jenggot. Durna dan Sengkuni juga. Berarti mereka radikal!” Seru Bagong.

"Eh Bagong, aku nggak tahu.”

Intinya, lanjut Kresna, Begawan Kintoko Dewo suka memecah keberagaman. Tidak suka dengan kedamaian tapi berlagak atas nama kedamaian. Tidak suka melihat masyarakat tentram, tapi lagaknya mencari ketentraman.

Begawan Kintoko Dewo mengajak rakyat untuk mengucapkan: saya pancaprasedya. Yang tidak mengucapkan dianggap anti pemerintah, pemberontak, radikal.

Para pandhito yang berdakwah dan tidak pro kerajaan dituding radikal. Yang pro kerajaan meski menghina dewa, akan dilindungi.

Ya, bahkan para dewa bisa seenaknya dihujat, dihina. Semua rakyat seolah-olah terkena sihir, mingkem cep. Tapi ketika raja dihina, dia memprovokasi rakyat agar si penghina langsung ditahan.

"Weleh, Prabu Dwarawati ngece aku. Mentang-mentang aku berani misuh-misuhi dewa!” Seru Bagong.

"Kowe bukannya misuhi dewa, Gong. Tapi memang otakmu kosong, ga punya adab, Bagong memang edan,” balas Kresna.

"Eh, terus piye ndoro?” Tanya Semar.

"Kakang Semar, aku sekarang sedang mengumpulkan bukti-bukti. Belum bisa mengambil sikap,” balas Kresna.

Kresna melanjutkan, Begawan Kintoko Dewo merasa sok suci. Dia punya misi rahasia untuk menghentikan perang Baratayudha.

"Perang Baratayudha? Lha ndalah, kok apik banget visi dan misinya menghentikan perang, ndoro!” Jawab Bagong.

"Husss, Bagong ojo asal njeplak cocotmu. Ini perang Baratayudha. Perang suci. Perang yang sudah digariskan sama takdir,” sanggah Kresna.

"Gencatan senjata dibilang tidak baik, piye toh prabu ini?”

"Wis nanti tanya bapakmu saja. Aku masih mikir cara menghentikan Begawan Kintoko Dewo,” Kresna pamit undur diri.

Sementara Bagong tertegun melihat kepergian Prabu Dwarawati.

"Maksudnya Ndoro Dwarawati apa toh, Mer?” Bagong membalikkan badan ke arah Semar.

"Mulih sik, Gong. Ngaso dulu. Wis pikiren dewe,” Semar memalingkan wajah, berjalan pulang menuju Karang Kadembel.

"Oh asem, edan kabeh. Ditanya perang Baratayudha kabur semua. Ini namanya kriwikan jadi grojogan, geguyon jadi tangisan. Begawan Kintoko Dewo, awas kowe tak cari hingga ujung dunia, kalau ketemu tak ajak mbadok sate,” Bagong penasaran.

Noviyanto Aji
Wartawan