Pendulum Risma

RISMA sudah memberi maaf. Tapi apakah proses hukumnya terhadap Dzikria Dzatil yang telah menghinanya berhenti?


Sepertinya tidak. Walikota Surabaya itu tampaknya tidak mau mencabut laporan. Itu haknya.

Proses hukum Dzikria Dzatil jalan terus. Bisa ditahan, bisa pula dibebaskan.

Sandi Nugroho, Kapolrestabes Surabaya mengatakan, akan mengkaji proses hukumnya lebih lanjut.

Perkara ini kemudian melebar ke mana-mana. Menjadi kontroversi. Sebab, Risma dan Kapolrestabes Surabaya dilaporkan ke Ombudsman Perwakilan Jawa Timur.

Di Jakarta, juga begitu. Beberapa tokoh politik hingga advokat ramai-ramai melaporkan Risma.

Ada nama Adhie M. Massardi, Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan; Aktivis Hatta Taliwang, Direktur IDe, Indonesia Democracy Watch, Abdurrahman Syebubakar; Advokat UUD 45; Zulkifli Ekomei dan aktivis alumni UI, Ramli Kamidin.

Ada pro dan kontra. Dan sekali lagi, kelompok masyarakat terbelah. Persis seperti Pilpres tahun lalu. Cebong dan kampret muncul lagi.

Perkara Risma dihina bukan lagi murni perkara hukum. Sudah berbalut politik.

Publik lantas membanding-bandingkan antara kasus Dzikria Dzatil dan Ade Armando.

Yang satu menghina Risma, satunya menghina Anies Baswedan.

Apa bedanya?

Tidak ada beda. Sama-sama menghina. Anies diolok-olok lewat unggahan “meme Joker” oleh Ade Armando. Sementara, Risma dihina juga di media sosial dengan sebutan “kodok betina” lantaran dianggap tidak becus menangani banjir di Surabaya.

Bedanya cuma, polisi Surabaya cepat dan tanggap. Pelaku langsung ditangkap. Sementara polisi Jakarta kurang cepat dankurang responsif.

Dzikria Dzatil dan Ade Armando/Repro

Akibatnya apa, hukum dicap diskriminatif. Hukum seperti di jaman baheula. Tajam ke kubu sebelah, tumpul ke kubu lain.

Itulah politik hukum. Kata pakar, politik hukum adalah bagaimana hukum harus mengakomodasikan suatu tujuan masyarakat yang dirumuskan secara politik.

Artinya hukum sebagai suatu produk (peraturan perundang-undangan) merupakan proses konflik. Artinya proses yang penuh muatan aspirasi dan titipan kepentingan politik.

Kebijakan dalam arti positif sebagai penjamin adanya kepastian hukum (rechtsmatigheid), maupun keadilan hukum (doelmatigheid).

Namun sayangnya, banyak sekali hukum tumpul. Tidak mempan memotong kesewenang-wenangan. Tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya dijawab oleh hukum.

Buktinya ini: Dzikria Dzatil dan Ade Armando.

Produk hukum hanya diwarnai kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Kepentingan politik orang lemah selalu kalah, kalah, dan kalah. Kepastian hukum tercapai, tapi keadilan terabaikan.

Ya, apabila kepastian hukum tercapai, maka keadilan hukum tercampakkan. Dan, begitu sebaliknya.

Apabila keadilan hukum didapat, maka kepastian hukum akan ditinggalkan. Sederhananya begitu.

Kasus Dzikria Dzatil dan Ade Armando seharusnya bisa dijadikan landasan kebijakan hukum (legal policy) bagi aparat.

Kalaupun politik mempengaruhi hukum, harusnya dapat dilihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang penegakan hukum. Bukan semata-mata menjadikan hukum sebagai bandul (pendulum).

Kasus Risma telah menjadi bandul bagi hukum maupun politik. Bandul sana, bandul sini.

Kepastian hukum dan keadilan ada, cuma berlaku bagi pemegang kekuasaan, bagi orang-orang intelektual yang pro pemerintah, bagi rakyat yang pro pemerintah.

Akibat hukum seperti itu, rakyat justru terbelah.

Maka, jangan heran jika di rezim ini masyarakat selalu terkotak-kotak. Muncul cebong dan kampret. Muncul kodok dan kadal.

Sekedar diketahui, bahwa demokrasi itu bisa berarti baik, dan otoriter dapat berarti jelek bila dipandang dari segi tertentu. Demokrasi berarti jelek, dan otoriter berarti baik jika dipandang dari segi tertentu juga.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim