Didesak Cabut Ijin Tambang Emas Tumpang Pitu, Khofifah: Tunjukkan Pasal Yang Dilanggar

Terkait desakan warga Tumpang Pitu yang menuntut mencabut ijin pertambangan emas PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menyatakan agar warga menunjukkan pasal yang dilanggar.


“Kalau mau dikaji ulang silahkan. Kan undang-undang itu bupati bisa mencabut, gubernur bisa mencabut jika mereka bisa menunjukkan buktinya dari undang-undang. Di item mana dari undang-undang itu yang dilanggar,” ungkap Khofifah kepada awak media seperti dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (25/2).

Sebaliknya, Khofifah menyeru jika tidak ada pelanggaran, maka kewenangan bisa dicabut oleh instansi yang lebih tinggi.

“Kalau tidak ada pelanggaran seperti yang di undang-undang itu, maka kewenangan itu bisa dicabut oleh instansi yang lebih tinggi di atasnya provinsi,” lanjut Khofifah.

Ditambahkan Khofifah, pihaknya bersedia mengajak warga untuk berdiskusi dengan menunjukkan pasal dan ayat yang dilanggar dari pertambangan di gunung Tumpang Pitu.

“Tidak apa-apa, kita bisa mendiskusikan dari pasal yang menjadikan kewenangan bupati, gubernur. Kan ada pelanggaran 1, 2 , 3 dan 4. Antara lain keputusan pengadilan, tidak bayar pajak, mengalihkan kepemilikan,” jelasnya.

Sebelumnya, warga Tumpang Pitu dengan mengayuh sepeda dari Banyuwangi ke Surabaya melakukan aksi demo di depan kantor Gubernur Jatim. Mereka menuntut Gubernur Jawa Timur mencabut Izin Usaha Pertambangan status Operasi Produksi (IUP-OP) PT BSI dan status Eksplorasi (IUP Eksplorasi) PT DSI.

Dalam draft tuntutan warga yang diterima Kantor Berita RMOLJatim tertulis beberapa pelanggaran yang dilakukan PT BSI dan PT DSI.

Disebutkan PT BSI dan PT DSI selama ini diduga telah melanggar Perda No.1 Tahun 2018. Dalam aturan disebutkan alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi, terutama Kecamatan Pesanggaran, tidak dialokasikan untuk zona pertambangan, tetapi untuk zona pelabuhan perikanan, zona pariwisata dan zona migrasi biota.  

Warga juga menduga, keberadaan PT BSI dan DSI di wilayah tersebut juga melanggar Pasal 40 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Bunyinya: “Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.”

Sementara dalam penjelasan lain disebutkan, yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan.

Meski aktivitas pertambangan yang dilakukan PT BSI dan DSI telah melalui proses studi AMDAL, namun warga menilai tidak memiliki analisis risiko bencana.

Sementara dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 18 ayat (1) disebutkan: “Wilayah perencanaan RZWP-3-K meliputi: a. Kearah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan; …” dan Kecamatan Pesanggaran sendiri terletak di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi, sehingga wilayah tersebut mesti mematuhi Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K) Jawa Timur.

Ini tentu tidak sesuai dengan temuan warga. Pasalnya, sejak masuknya PT BSI dan PT DSI di Desa Sumberagung, berbagai masalah sosial-ekologis dan keselamatan ruang hidup masyarakat justru semakin meningkat.

Salah satunya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam. Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan,” terang Usman.

Bahkan karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Desa Sumberagung dan sekitarnya.

Sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang juga mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka.

Tidak hanya itu, beberapa sumur milik warga mulai mengalami kekeringan diduga karena penurunan kualitas lingkungan. Hal ini belum ditambahkan dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan.

Sementara itu, pada 10 Februari 2020, ditemukan dua bangkai penyu yang terdampar di pesisir Pantai Pulau Merah dan diduga disebabkan oleh aktivitas pertambangan di Gunung Tumpang Pitu.

Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, warga menyebut PT BSI diduga melanggar UU 32/2009 pasal 69 ayat 1 huruf (a) yang melarang “setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.

Atas dasar inilah, warga Tumpang Pitu mendesak pencabutan izin usaha pertambangan karena sudah sesuai dengan Pasal 119 yang mengatakan: “IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.”