Warga Tumpang Pitu Beberkan Pasal-pasal Pelanggaran Tambang Emas Sesuai Permintaan Gubernur Khofifah

Sudah empat hari warga Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi berdiri di tengah teriknya matahari dan guyuran hujan. Mereka menggelar aksi di depan kantor gubernuran hanya ingin bertemu Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.


Bukannya menemui warga yang katanya bersedia diajak diskusi, gubernur malah secara sepihak lebih memilih bertemu awak media dan mengatakan: “Kalau mau dikaji ulang silahkan. Kan undang-undang itu bupati bisa mencabut, gubernur bisa mencabut jika mereka bisa menunjukkan buktinya dari undang-undang. Di item mana dari undang-undang itu yang dilanggar,” ungkap Khofifah kepada awak media seperti dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (25/2).

Ya, pertemuan yang dinanti warga Tumpang Pitu tak kunjung datang. Padahal jika warga dapat bertemu gubernur, diharapkan dapat mendiskusikan persoalan yang dihadapi di kampung, terkait hadirnya industri pertambangan yang dioperasikan oleh PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold, Tbk.

“Di depan megahnya kantor Gubernur Jatim yang sebahagian besarnya dibangun dengan uang kami tersebut, kami juga tak henti-hentinya memanjatkan doa dalam shalat hajat, dhuhur, ashar, magrib, dan melantunkan ayat suci Alquran secara bergantian. Tak lain, agar gubernur menemui kami dalam keadaan sehat walafiat, dalam lindungan Allah SWT, dan membawa harapan dengan pikiran jernih atas persoalan yang kami hadapi,” demikian harapan warga Tumpang Pitu dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (26/2).

“Namun, hingga Selasa petang (25/2), dalam guyuran hujan yang gelap, Gubernur yang kami pilih pada 2018 lalu dengan gembira tetap menghilang, dan tidak memberikan tanda apapun untuk menemui kami,” tulisnya.  

Bagi warga Tumpang Pitu, pernyataan Gubernur Jatim pada awak media mencerminkan lemahnya analisis hukum tim Gubernur Jatim, sekaligus secara sekilas menunjukkan dirinya terlihat menghindar, karena tidak menyampaikan pernyataan tersebut secara langsung kepada kami yang berharap menemuinya.

“Walaupun demikian, kami tetap sabar dan akan menjelaskan kembali beberapa kewenangannya, yang diatur oleh sistem perundang-undangan Indonesia, seperti yang diungkapkannya kepada awak media,” serunya.

Berikut keterangan selengkapnya warga Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi terkait pelanggaran PT BSI dan PT DSI:

Sesuai dengan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 113 ayat (1) bahwa penghentian sementara dan atau seluruh kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi:

a.keadaan kahar;

b.keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;

c.apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.

Begitu pula mengenai permohonan pencabutan izin usaha pertambangan sesuai dengan Pasal 119 mengatakan bahwa:

“IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: a.pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan; […]”

Dalam hal ini kami lampirkan sejumlah dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan alasan mengapa pencabutan izin usaha pertambangan harus dilakukan yakni:

1. Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 18 ayat (1) berbunyi: “Wilayah perencanaan RZWP-3-K meliputi: a. Ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan; …” dan Kecamatan Pesanggaran sendiri terletak di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi, sehingga wilayah tersebut mesti mematuhi Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K) Jawa Timur.

PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai Suksesindo (DSI) diduga melanggar Perda No.1 Tahun 2018 sebab dalam aturan tersebut, alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi, terutama Kecamatan Pesanggaran, tidak dialokasikan untuk zona pertambangan, tetapi untuk zona pelabuhan perikanan, zona pariwisata dan zona migrasi biota.

2. Keberadaan PT. BSI dan DSI di wilayah tersebut diduga melanggar Pasal 40 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang berbunyi: “Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.”

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan."

Sedangkan aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. BSI dan DSI -- meskipun telah melalui proses studi AMDAL -- tidak memiliki analisis risiko bencana. Patut ditegaskan bahwa Pesisir Selatan Banyuwangi adalah kawasan rawan bencana (KRB).

Oleh karenanya patut menjadi perhatian khusus bagi Gubernur Jatim untuk mempertimbangkan permohonan pencabutan yang kami ajukan, sesuai amanat UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 71 yang menegaskan tentang peran serta fungsi pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh sumber, kebijakan pembangunan, dan kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana.

3. Gunung Tumpang Pitu, Salakan dan gunung-gunung sekitarnya adalah ‘tetenger’ bagi nelayan saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah pulau Nusa Barong di sebelah Barat, Gunung Agung di sebelah Timur dan Gunung Tumpang Pitu ditengah-tengahnya. Maka jika Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung lainnya menghilang, bisa dipastikan mereka akan kehilangan salah satu tetenger daratan yang menjadi acuan arah.

4. Gunung Tumpang Pitu, Gunung Salakan dan gunung-gunung di sekitarnya adalah benteng alami bagi perkampungan komunitas nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer dari ancaman angin Tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Selain itu ia juga berfungsi sebagai benteng utama terhadap bahaya ancaman gelombang badai tsunami.

Sebagaimana pernah dicatat, pada tahun 1994, gelombang tsunami menyapu kawasan pesisir Pancer dan merenggut nyawa sedikitnya 200 orang. Bagi warga, saat itu keberadaan Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung sekitarnya, dikatakan mampu meminimalisasi jumlah angka korban. Sehingga bisa dipastikan jika gunung-gunung tersebut menghilang, maka potensi ancaman jumlah korban yang lebih banyak akan terjadi pada masa mendatang.

5. Selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di sanalah sebagian besar penduduk, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan secara turun temurun.

6. Sejak masuknya PT BSI dan PT DSI di Desa Sumberagung, berbagai masalah sosial-ekologis dan keselamatan ruang hidup masyarakat meningkat. Salah satunya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam.

Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir desa Sumberagung dan sekitarnya.

Sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang juga mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Dan beberapa sumur milik warga mulai mengalami kekeringan, diduga karena penurunan kualitas lingkungan. Hal ini belum ditambahkan dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan.

Sementara itu, pada 10 Februari 2020, ditemukan dua bangkai penyu yang terdampar di pesisir Pantai Pulau Merah dan diduga disebabkan oleh aktivitas pertambangan di Gunung Tumpang Pitu. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, PT BSI diduga melanggar UU 32/2009 pasal 69 ayat 1 huruf (a) yang melarang “setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

7. Selain persoalan di atas, kehadiran industri pertambangan di gunung Tumpang Pitu juga memicu sejumlah persoalan lainnya yang tak kalah penting, yakni meningkatnya tindak represi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya oleh aparat keamanan negara dalam kurun waktu 8 tahun (2012-2020) belakangan ini.

Sedikitnya telah terjadi 5 bentuk kasus kriminalisasi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya karena berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan lingkungannya dengan cara menolak hadirnya kegiatan industri tambang.

Dari 5 bentuk kriminalisasi tersebut, sedikitnya 13 warga telah dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan UU 32/2009 pasal 66 yang berbunyi “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

8. Mengingat poin 1-7, PT BSI dan PT DSI juga diduga telah melanggar UU 27/2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 35 huruf (k) yang melarang “melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;”

Catatan di atas ini menyimpulkan bahwa daya dukung lingkungan hidup tidak dapat menanggung beban akibat pertambangan, termasuk juga rencana perluasan tambang ke ekosistem Gunung Salakan yang sedang dalam tahap eksplorasi tambang. Tindakan operasi tambang ini juga sudah termasuk kualifikasi pelanggaran peraturan perundangan-undangan sesuai yang kami uraikan di atas.

Karena itu kami mendesak dan memohon agar dilakukan pencabutan kedua izin tersebut.

Sesuai dengan UU 4/2009 Pasal 113 ayat 5, maka Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan pencabutan izin oleh masyarakat ini sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan pencabutan ini.

Sekali lagi, cucuran keringat dan dinginnya malam dalam jalanan 320 kilometer yang kami lalui dengan sepeda, menanti keberanianmu!

Surabaya, 25 Februari 2020

Warga Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi