Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori

Sejak abad 16 masehi, Islam di Nusantara sudah berkembang. Pelopornya Syekh Yusuf al-Makasari. Kemudian ada Syekh Khatib al-Mingkabawi (Minangkabau) dan Syekh Khatib al-Sambasi (Sambas).


Kiprah ulama Nusantara menjulang tinggi di Mekkah. Para ulama Nusantara menerapkan ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam.

Banyak ulama Nusantara yang berpengaruh dan memiliki reputasi mentereng di dunia Islam.

Salah Kiai Mahfudz Termas atau dikenal Syekh Mahfudz Al-Tarmasi (Termas). Nama aslinya Muhammad Mahfudz.

Beliau dilahirkan di Desa Tremas, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Kresidenan Madiun (Provinsi Jawa Timur), pada 12 Jumadil Awal 1285 H bertepatan 31 Agustus 1868.

Ayahnya Kiai Abdullah adalah pengasuh pondok pesantren Tremas yang didirikan oleh kakeknya, Kiai Abdul Manan (nama kecilnya R. Bagus Darto/ R. Bagus Sudarot) tahun 1830, setelah menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo asuhan Kiai Hasan Besari.

Kiai Abdul Manan putra R. Demang Dipomenggolo yang diambil menantu pamannya Demang Tremas Raden Ngabei Honggowijoyo dan mereka keturunan Kethok Jenggot, punggawa kesultanan Surakarta yang ditugaskan membuka lahan (babat alas) Pacitan sehingga menjadi perkampungan yang semakin ramai.

Pada umur 6 tahun, Mahfudz muda dibawa ayahnya ke Mekkah tahun 1264H/1848M.

Di Mekkah sana, sang ayah memperkenalkan beberapa kitab penting padanya.

Mahfudz muda menganggap Kiai Abdullah lebih dari sekedar seorang ayah dan guru. Dia menyebut sebagai murobbi waruhi (pendidikku dan jiwaku).

Dalam usia belia, Mahfudz mampu menghafal al-Qur’an. Tidak hanya itu, dalam relatif singkat, Mahfudz mampu mempelajari dasar-dasar ilmu agama. Beliau mempelajarinya dari beberapa guru sekitar tempat tinggalnya.

Adapun yang dipelajari dari ayahnya adalah ilmu tauhid, ilmu Al Quran, dan Fikih.

Dari ayahnya Mahfudz muda mengkaji kitab Syarah al Ghayah li Ibni Qasim al Ghuzza, al Manhaj al Qawim, Fath al Mu’in, Fath al Wahab, Syarh Syarqawi ‘ala al Hikam dan sebagian Tafsir al Jalalain.

Dalam Kitab Muhibah zil Fadhli jilid ke-4 yang merupakan salah satu karya Kiai Mahfudz disebutkan, semasa muda Mahfudz sangat haus akan ilmu.

Setelah belajar dari sang ayah, beliau lantas memilih merantau ke Semarang untuk belajar kepada Kiai Muhammad Saleh bin Umar as-Samaranji, salah seorang ulama besar di Jawa pada abad ke-19 yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Saleh Darat (1820-1190 M).

Data sejarah menyebutkan, saat belajar ke Kiai Saleh Darat, Kiai Mahfudz satu halaqah bersama salah seorang pahlawan nasional, yakni R.A Kartini dan beberapa tokoh lainnya. 

Setelah beberapa tahun, Kiai Mahfuz meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah.

Di sinilah kemudian beliau memantapkan pengembaraan intelektualnya dengan berguru kepada beberapa ulama terkemuka, seperti Al Allamah As Sayyid Abi Bakr bin Muhammad Syatha Al Makki.

Ulama inilah yang menjadi pijakan Kiai Mahfudz dalam periwayatan hadits.

Beliau juga memperoleh ilmu qira’at 14 dari Al Allamah Syeikh Muhammad As Syarbini Ad Dimyathi.

Maka, dimulailah ideologi Kiai Mahfudz.

Karena bila dilihat dari corak pemikirannya tentang fiqih, maka Syeikh Muhammad As Syarbini Ad Dimyathi merupakan ulama fiqih syafii yang sangat disegani.

Karya-karya besarnya banyak dikaji di beberapa pesantren dan perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Adapun karya yang dimaksud adalah I’anatut Thalibin Syarah Fathul Mu’in

Rupanya rasa dahaga Kiai Mahfudz akan ilmu pengetahuan tidak hanya dalam wilayah fiqih saja. Dari sekian banyak karya-karya yang telah ditelurkan dalam bentuk kitab dan buku, kesemuanya bervariasi dan terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan.

Salah satu ilmu yang beliau tekuni adalah ilmu hadist. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi kesungguhan Kiai Mahfudz dalam menghimpun beberapa transmisi sanad atau mata rantai keilmuan.

Ya, Kiai Mahfudz boleh dibilang merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadits dari 23 generasi (secara berturut-turut) penerima Hadist Shahih Bukhori.

Urutan isnad-nya sebagai berikut:

Imam al Bukhori (Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah (194-256 H/810-870 M)

Imam Al-Hafidz Al-Hujja’

Imam Muhammad bin Yusuf bin Matar al-Farbasi

Imam Abdullah bin Ahmad

Syeikh Abdul Hasan Abdurahman bin Mudhofar Ad-Daud

Imam Al-Hambali

Imam Al-Hasan bin Al Mubaraq Az-Zubaidi

Syeikh Ahmad bin Thalib Al-Hajar

Syeikh Ibrahim bin Muhammad

Syeikh Ahmad bin Hajar Al-Asqolani

Syeikh Islam Zakaria Al-Ashari Al-Hafidz

Syeikh Muhammad bin Ahmad al Ghaisi

Syeikh Salim bin Muhammad As-Sauhari

Syeikh Muhammad bin Alauddin Al-Babili

Syeikh Abdullah bin Salam Al-Bashri

Syeikh Salim bin Abdullah bin Salim al Bashri

Syeikh Muhammad Ad-Dafri

Syeikh isa bin Muhammad Al-Barawi

Syeikh Muhammad bin Ali Asy-Sarwani

Syeikh Usman bin Hasan Ad-Dimyathi

Syeikh Ahmad bin Zaini

Syeikh Abu Bakar bin Muhammad Syatho’ ad-Dimyathi

Dan terakhir Syeikh Mahfudz bin Abdullah At-Termasi atau Kiai Mahfudz.[Bersambung]

Noviyanto Aji

Diolah dari berbagai sumber