Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi tanda adanya ketidakberesan pengelolaan ekonomi di tangan tim ekonomi Presiden Joko Widodo.
- Luhut : Selama Lebaran, Ekonomi Indonesia Meningkat 30 Persen
- Ramli Collection, UMKM Mitra Binaan SIG Sukses Kembangkan Usaha di Masa Pandemi
- KPPU Ungkap Utang Migor Pemerintah Capai Triliunan
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, anjloknya nilai tukar rupiah merupakan permasalahan fundamental ekonomi yang rapuh.
"Iya ini kan masalahnya ada di fundamental ekonomi yang rapuh. Kenaikan dolar yang begitu cepat sebenarnya alarm bahwa ada yang tidak beres dari pengelolaan ekonomi domestik," ucap Bhima Yudhistira, Selasa (24/3), dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL.
Apalagi, sejak 23 Februari 2020, rupiah terdepresiasi sebesar 18,84 persen dari Rp 13.776 ke Rp 16.643 per dolar AS. Hal itu berbanding jauh dengan ringgit Malaysia yang hanya terdepresiasi sebesar 6 persen dari 4,19 ke 4,4 per dolar AS.
"Kalau dibandingkan bukan hanya kalah dengan Malaysia, tapi juga Thailand bath melemah 3,7%, dolar Singapura 4%, Yuan 1,25%, tapi Indonesia melemahnya keterlaluan sampai 18,84% dalam sebulan terakhir. Ini kan gawat," tegas Bhima.
"Artinya, tim ekonomi Jokowi ini menganggap enteng dalam membenahi faktor fundamental ekonomi," pungkasnya.
- Bangun Ekosistem Perumahan MBR, Bank BTN Siapkan Pembiayaan Tahun 2022
- Usai Intimidasi Wartawan, Karyawan Bank BRI Tais Hanya Sebatas Dimutasi
- Bank BTN Resmikan Sentra Proses UMKM di Surabaya