Salah Samek #2: Mudik Dan Ketersediaan Makan

JURUBICARA Gugus Tugas Penanganan Covid-19 sangat gencar mengimbau masyarakat untuk tidak pulang kampung.

Berita tentang kemungkinan Jakarta akan melakukan Karantina Wilayah membanjiri seluruh saluran media.


Berita kalau pemerintah dalam waktu sangat dekat akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Karantina Wilayah alias lockdown, berita akan ada rapat khusus untuk memutuskan Jakarta akan Karantina Wayah alias lockdown, berita simulasi lalu lintas di tol masuk dan keluar Jakarta untuk mengantisipasi Jakarta ditetapkan Karantina Wilayah alias lockdown disiarkan hampir seluruh televisi.

Sayangnya, masifnya pemberitaan tersebut tidak diiringi dengan masifnya pernyataan pejabat untuk menjamin segala kebutuhan masyarakat yang masuk dalam daerah Karantina Wilayah alias lockdown tersebut.

Masyarakat masih bingung dan bertanya-tanya, bagaimana untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar keluarga sehari-hari jika Jakarta Karantina Wilayah alias lockdown?

Kebingungan tersebut tidak kunjung ada jawaban dan tidak ada kepastian jawaban dari pejabat yang berkompeten dari hari ke hari.

Walaupun ini harusnya hak rakyat untuk mendapat informasi sesuai prinsip-prinsip Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008), yaitu hak untuk mendapatkan kepastian informasi keterpenuhan kebutuhan paling elementer mereka, informasi tentang ketersediaan makan dalam masa Karantina Wilayah alias lockdown, namun nampaknya pemenuhan hak ini masih jauh dari yang dibutuhkan masyarakat.

Pernyataan yang muncul justru imbauan yang isinya seolah-olah kebutuhan dasar sehari-hari masyarakat supaya bisa ditanggung oleh tetangga yang memiliki rezeki lebih.

Lha kok bisa begitu? Begitu pertanyaan seketika yang terlontar.

Pertanyaan yang muncul di benak masyarakat adalah apakah kami akan hidup dari belas kasihan tetangga selama Karantina Wilayah?

Iya kalau tetangganya mau, kalau tetangganya diam saja dan tidak peduli, trus kami puasa berhari-hari gitu?

Belum lagi kalau memikirkan cicilan sepeda motor dan kredit lainnya yang sudah terlanjut diambil sebelum corona menyerang. Dikejar-kejar lembaga pembiayaan.

Dan yang lebih penting, tidak ada kejelasan dapat menunda pembayaran kos atau kontrakan.

Artinya tempat tinggal juga tidak ada kepastian. Kontrakan bulanan, pemasukan tidak ada, dagangan tidak laku, mau bayar pakai apa? Apa iya yang punya kontrakan mau dibayar setelah corona berlalu?

Dua puluh ribu lebih perantau asal Wonogiri yang ada di Jabodetabek sudah mudik ke Wonogiri per 25 Maret 2020. Itu baru 1 (satu) Kabupaten dari 35 (tiga puluh lima) Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah.

Berapa jumlah yang mudik dari Jabodetabek ke Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarya, dan Jawa Timur?

Serasa mudik lebaran. Hanya itu kalimat pas untuk menggambarannya.

Pilihan terbaik dan paling logis bagi mereka memang segera mudik ke kampung.

Setidaknya kalau mudik ke kampung ada rumah tempat berteduh. Ada ladang dan sawah untuk ditanami umbi-umbian. Masih ada stok nasi tiwul. Kepepet banget masih bisa minjam ini dan itu ke tetangga yang masih sedulur, yang pasti tidak tega melihat tetangga tidak makan beberapa hari.

Saat ditanya soal mereka kemungkinan berpotensi membawa virus corona mudik, jawabannya: dipikir belakangan saja, sampai di kampung kan bisa cek kesehatan dan isolasi mandiri atau menjaga jarak dengan orang kampung, daripada di Jakarta mati kelaparan.

Kebanyakan mereka merasa heran saja. Situasi darurat level pandemik kok hanya melahirkan imbauan demi imbauan, bukan perintah dan larangan.

Mewacanakan Karantika Wilayah alias lockdown dalam situasi darurat pandemi corona namun tidak diiringi wacana kepastian pemenuhan kebutuhan pokok yang menenangkan. Apalagi mengingat modal dagangan juga sudah mulai terpakai untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari sebagai akibat Work From Home sehingga dagangan sepi bangeeet.

Bagi para potensial pemudik tersebut, dalam situasi darurat pandemik corona yang memerlukan langkah super serius untuk menahan laju penyebaran virus corona ini, yang ditunggu adalah apa perintah yang harus dilaksanakan dan apa larangan yang harus dihindari.

Bagaimana penegakan hukum atas pelanggaran perintah dan larangan tersebut. Kepastian ketersediaan kebutuhan dasar masyarakat yang disiapkan pemerintah. Kepastian masyarakat tetap punya tempat tinggal dan makanan pokok secukupnya sehari-hari.

Ya, seperti yang disampaikan salah seorang pengemudi Ojek Online dan si mbok jualan minuman yang tampil di Indonesian Lawyers Club (ILC) pada Selasa lalu (24/3).

Kalau tidak ada hal demikian, jangan salahkan jika imbauan untuk tidak mudik, himbauan untuk seolah-olah menanggung hidup tetangga yang kekuarangan, wacara Karantina Wilayah alias lockdown diikuti simulasi penutupan akses jalan, ditambah wacana larangan mudik saat lebaran nanti, ditelinga masyarakat para perantau pedagang kecil dan buruh lepas harian di Jabodetabek lebih terdengar sebagai perintah untuk sesegera mungkin meninggalkan Jakarta dan sekitarnya.

Kalau itu yang terjadi berarti penangulangan laju penyebaran virus corona bukannya makin terkendali malah makin parah, parah sekali.

Kok parah sekali?

Karena budaya interaksi sosial di kampung lebih dominan dibanding Jakarta.

Satu orang sakit, sekampung menengok. Infrastruktur kesehatan bak langit dan bumi dibandingkan dengan Jakarta. Bukankah hanya tinggal menunggu waktu saja kasus corona akan meledak di daerah tujuan mudik tersebut?

Kalau begini bukan lagi Salah Samek namanya, jangan-jangan malah sudah Salah Jahit, kata temanku yang membaca tulisan penulis kemaren dengan judul Salah Samek #1 : Penyebaran dan Penyakit.

Jika salah samek saja berakibat tidak salamek (tidak selamat), maka bagaimana dengan salah jahit? Bisa-bisa malapetaka dan kehancuran besar yang datang.

Masih cukup waktu jika ingin melakukan perbaikan salah samek... eh.... salah jahit... ups... salah samek.... entahlah....

Hendra J. Kede

Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI