Jika Jokowi Berlakukan Darurat Sipil Dengan Perppu 23/1959 Bisa Langgar Konstitusi

Langkah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mengarah ke darurat sipil dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 23/1959 saat menangani pandemi virus corona atau Covid-19, jika benar-benar dilakukan Presiden Joko Widodo akan melanggar konstitusi.

Dikatakan Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun, pelanggaran konstitusi yang dimaksud adalah Presiden Jokowi mengabaikan Bab VII bagian ketiga tentang karantina wilayah UU 16/2018. Seharusnya, kata Ubedilah, langkah yang diambil setelah PSSB adalah Karantina Wilayah.

"Harusnya dalam kondisi wabah yang terus meluas ini pasal yang digunakan menurut UU 6/2018 setelah kebijakan pembatasan sosial berskala besar adalah karantina wilayah, tidak lompat ke darurat sipil," ucap Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (30/3).


Karena, kata analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, Presiden Jokowi telah melakukan lompatan dasar hukum jika tidak melakukan karantina wilayah.

"Ini ada logika dasar kebijakan yang lompat dari dasar UU 6/2018 lompat ke Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 23/1959 tentang keadaan bahaya. Karantina Wilayah tidak disebutkan sama sekali. Ini mirip memotong tangkai berduri dari pohon bunga mawar pake gergaji besar. Tentu ini keliru," tegasnya.

Dengan demikian, kata Ubedilah, jika benar pemerintah langsung menerapkan darurat sipil setelah PSSB tanpa karantina wilayah, maka Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran konstitusi.

"Saya heran jika pasal yang disediakan oleh UU ini diabaikan oleh pemerintah. Pengabaian pada perintah UU bisa termasuk pelanggaran konstitusi," pungkasnya.