Ichsanudin Noorsy: Solusi Jokowi Tidak Sistematis Selesaikan Masalah Covid-19

Wabah virus corona jenis baru atau Covid-19 sudah sebulan mewabah di Indonesia. Namun, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru belum mampu menekankan angka kasus positif corona berkurang.


Hingga Rabu (1/4) kemarin, jumlah kasus positif kembali bertambah, dengan total kasus menjadi 1.677 penderita. Jumlah ini disusul angka kematian yang sebanyak 157 jiwa. Sementara, jumlah pasien positif yang berhasil sembuh baru sejumlah 103 orang.

Atas perkembangan tersebut, Presiden Joko Widodo akhirnya menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini, ditegaskannya, berbeda dengan kebijakan lockdown yang diterapkan pemerintahan di banyak negara lain.

Sebab menurut politisi PDIP ini, PSBB tidak melarang kegiatan ekonomi. Akan tetapi masyarakat diimbau untuk menjaga jarak (physical distancing), mengurangi kegiatan sosial (social distancing), dan sebisa mungkin untuk bekerja di rumah, belajar di rumah, serta beribadah di rumah (self isolated).

Sebagai landasan hukumnya, Jokowi menggunakan 4 regulasi sekaligus. Di antaranya, UU 6/2018 tetang Kekarantinaan Kesehatan, PP 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Keppres 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dan Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19.

Namun, dari keempat regulasi tersebut, tidak ada satupun yang mengatur secara rinci mengenai pola kerja sistematis yang bersifat teknis, dengan berorientasi ke penyelesaian masalah untuk masyarakat.

Begitulah kritik begawan ekonomi politik dari Universitas Airlangga Ichsanudin Noorsy, Kamis, (2/4) dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL.

"Jadi tidak ada kebijakan yang sistematis struktural dan massif. Itu mengakibatkan masyarakat makin panik," demikian pria yang akrab disapa Ichan ini menegaskan.

Secara regulasi, Jokowi tidak mesti mengeluarkan Keppres 11/2020 dan Perppu 1/2020. Sebab menurut Ichsanudin Noorsy, terdapat pasal 12 UUD 1945 yang bisa dijadikan dasar bagi Jokowi menetapkan keadaan darurat.

"Walaupun masih belum sebanding dengan kematian orang-orang di peristiwa pilpres yang jumlahnya 700 orang itu. Tapi karena ini mengancam dan hampir seluruh dunia panik menghadapinya, maka penggunaan pasal 12 UUD bisa dipakai," terang Ichsanudin Noorsy.

Penggunaan pasal 12 UUD 1945 itu, lanjut Ichsanudin Noorsy, bisa direlasikan dengan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Ketika sampai UU Kekarantinaan Kesehatan, yang diperlukan adalah PP (Peraturan Pemerintah)," sebutnya.

Namun sayangnya, PP 21/2020 tentang PSBB tidak mengatur detail pengkalsifikasian daerah terwabah corona. Seharusnya, menurut Ichsanudin Noorsy, PP itu menyebut klasifikasi daerah yang terwabah berat, terwabah sedang, terwabah ringan dan daerah tidak terwabah. 

"Itu berarti ketika kita mampu mengklasifikasi daerah-daearah terdampak, itu mengacu kepada persoalan biaya. Biaya mana yang tinggi, biaya mana yang sedang dan biaya mana yang rendah. Ini kan sama sekali enggak ada," ucap Ichsanudin Noorsy.

Karena tidak ada aturan tersebut, maka mantan anggota DPR RI tahun 1997-1999 ini pun berkesimpulan, pemerintah tidak memiliki cara penyelesaian yang jitu dalam menangani wabah corona ini.

Selain pertimbangan hukum di atas, Ichsanudin Noorsy menyebutkan pertimbangan lain. Yakni pertama, tidak sigapnya pemerintah mengantisipasi kehadiran pandemi corona sejak Januari silam. Kedua, kerja sama dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah lemah. Ketiga, faktor pembiyaaan penanganan corona yang belum jelas.

"Di corona ini terdapat tumpukan masalah makin keliahatan di sini, karena tidak terealisasikan secara struktural, karena memang tidak ada kebijakan yang sifatnya sistematis, yang berorientasi ke penyelesain masalah," ujar Ichsanudin Noorsy.

"Nah biayanya, karena memang asal muasalnya adalah penggunaan pasal 12 UUD 1945, maka biayanya lebih besar ditanggulangi oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah sifatnya mendukung pembiyaan itu. Itu tanggung jawab pemerintah pusat. Nah repotnya sekarang ini kita miskin negarawan nih," pungkasnya.