Tekad Jadi Polisi tak Luntur di Tengah Keterbatasan

RMOLBanten. Hidup dalam keterbatasan ekonomi, tak menghalangi Muhammad Fikri Setiawan (10), murid kelas 5 SDN Citeureup 6, Kecamatan Panimbang, Pandeglang untuk meraih prestasi.


Pagi itu, Fikri seperti biasa melakukan aktivitas sekolah, mulai mempersiapkan buku pelajaran hingga membereskan perlengkapan sekolah.
Tak lupa, Fikri menyiapkan seragam sekolah.

Berbeda dengan kebanyakan murid, tidak banyak koleksi seragam sekolah yang dia miliki, sehingga seragamnya tampak terlihat lusuh.Sepatu yang dia pakai, juga hanya itu-itu saja. Maklum, Fikri hanya memiliki sepasang sepatu.

Sepatunya cuma satu,” kata Fikri kepada CEO BANPOS Rizal Maulana Malik, saat ditemui di rumahnya, belum lama ini.

Fikri juga tidak banyak dibekali uang jajan oleh sang kakek. Kondisi itu, bukan kakeknya tidak ingin memberikan uang jajan lebih buat Fikri, tetapi karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan. Jangan memberikan uang jajan yang mencukupi, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, sang kakek kesulitan.

Uang jajan dikasih sama kakek hanya Rp 2.000. Agar pulang sekolah bisa jajan lagi terpaksa jajannya cuma Rp 1.000 dan sisanya buat nanti pulang sekolah,” katanya.

Namun, uang jajan seadanya dan pakaian yang digunakan hanya itu-itu saja tidak membuat Fikri minder. Fikri tetap belajar seperti halnya anak-anak lain. Malah keseharian Fikri di sekolah kerap menjadi teladan bagi murid lainnya.

Jika besar nanti saya bercita-cita ingin jadi polisi. Makanya saya erus giat belajar untuk mencapai cita-cita,” ucapnya.

Saat pulang sekolah, Rizal mengikuti perjalanan Fikri pulang dan mendapatkan cerita miris tentang kehidupan keluarganya.

Saat ini, Fikri tinggal bersama kakeknya yang hanya sebagai seorang kuli pemetik dan pengupas kelapa. Kedua orang tuanya telah berpisah. Ibunya bekerja di Jakarta sebagai ibu rumah tangga. Karena penghasilannya tidak seberapa, ibunya jarang pulang ke Panimbang.  

Saya tinggal berdua dengan kakek, karena ibu sudah pergi ke Jakarta, sejak saya kelas 1. Untuk makan, jajan dan keperluan sekolah dikasih sama kakek. Itupun kalau kakek punya uang,” ujarnya lirih.

Saat tiba di rumah, Fikri disambut sang kakek di depan rumahnya. Fikri pun langsung menyimpan peralatan sekolah dan berganti pakaian dan bersiap main bersama teman-temannya.

Sebelum main bersama teman-temannya, Fikri bergegas ke dapur untuk makan siang. Bukan ikan dan sayur yang disuguhkan sang kakek, bukan daging dan ayam yang didapat, tetapi Fikri hanya disuguhi nasi dan garam. Sungguh memilukan.

Tak berhenti di situ, Rizal juga melihat langsung seperti apa kondisi rumah kakek Fikri. Fikri bersama kakeknya tinggal di sebuah rumah berdinding bilik yang kurang layak. Beberapa bagian rumahnya juga sudah terlihat rusak.

Di rumah berukuran tidak terlalu besar tersebut, tidak terlihat peralatan rumah tangga yang memadai.  

Sebagai tempat bersantai atau duduk-duduk di rumah, kakek Fikri hanya menyediakan sebuah tempat duduk (amben) yang terbuat dari bambu dan bertiang kayu. Tidak ada sofa empuk, lemari, dan peralatan rumah tangga lainnya di rumah yang tidak terlalu jauh dari sekolah tempat Fikri belajar.

Bukannya saya tidak ingin membelikan ikan buat teman makan nasi, tapi karena uang yang saya dapat dari hasil kerja memetik kelapa milik tetangga hanya sedikit. Setiap hari penghasilan saya hanya Rp 50.000 terkadang hanya Rp 30.000 seperti yang saya dapat sekarang,” ujarnya.

Ya, kakek Fikri yang sudah berkepala enam, memang hanya seorang buruh atau pemetik kelapa. Setelah memetik kelapa, kakek Fikri juga membersihkan atau mengupas serabut kelapa. Aktivitas, kakek Fikri sebenarnya cukup berisiko, tetapi apalah daya, karena hanya itu lahan mencari nafkah untuk keluarganya.

Sudah hidup serba susah, kakek Fikri juga belum mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Namun, kakek Fikri tak patah semangat, dia tetap berusaha, agar bisa memodali cucunya  mengenyam pendidikan.

Kalau nanti dapat sih saya terima, kalau tidak dapat juga tidak apa yang penting saya terus berusaha jangan sampai cucu saya putus sekolah. Namun, jika lulus nanti saya juga masih bingung karena untuk masuk sekolah lebih tinggi lagi butuh biaya yang cukup lumayan,” ucap Rasda.

Pihak sekolah juga sepertinya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Fikri. Mereka hanya terharu melihat keseharian Fikri dan kakeknya yang hidup serba pas-pasan.

Sebetulnya untuk prestasi akademik sejak kelas 1, Fikri selalu meraih prestasi rangking pertama dan selalu mendapatkan nilai bagus terutama mata pelajaran Matematika. Dibalik keterbatasan ekonomi sebetulnya Fikri merupakan sosok yang tegar dalam menjalani hidup karena yang saya tahu, dia tidak pernah terlihat mengeluh dan tidak merasa minder dengan keadaannya,” ungkap Kepala SDN Citeureup 6, N Dedeh Mardiah. [***]