Ganti Langse Alas Ketonggo Tradisi Paten Budaya Ngawi

. Ganti Langse atau ganti selambu mori putih yang difungsikan sebagai penutup Palenggahan Agung Srigati di Alas Ketonggo, Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, adalah tradisi tahunan setiap bulan Muharam atau Suro yang dipatenkan pemerintah daerah setempat.


Selambu mori itu diserahkan oleh Ketua DPRD Ngawi, Dwi Rianto Jatmiko atau akrab disapa Antok kepada Suyitno selaku juru kunci Alas Ketonggo didampingi sesepuh dan pemangku daerah setempat, Sabtu (14/9) malam.

"Ini tradisi bagian adat yang kita punya besar harapan Ganti Langse harus dilestarikan agar bisa dikenal bagi generasi kita mendatang," terang Antok.

Prosesi penyerahan selambu mori sendiri diiringi sebuah Tari Srigati yang dilakukan 8 penari yang masih gadis atau perawan. Menyusul acara yang paling ditunggu-tunggu yakni Ganti Langse dilakukan oleh para tokoh masyarakat dalam hal ini para perangkat Desa Babadan kurang lebih selama 15 menit.

Kemudian Langse atau mori yang sudah diganti atau Langse lama diserahkan kembali kepada Suyitno selaku juru kunci Palenggahan Agung Srigati untuk dibagikan kepada warga masyarakat yang membutuhkan.

Ritual selanjutnya berupa bancaan atau biasa dikenal dengan slametan yang merupakan persembahan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) yang dipimpin pemangku adat Alas Ketonggo.

Dalam selamatan ini dihidangkan berbagai makanan dan jajanan pasar. Untuk makananya dimulai tumpeng, urap-urap, bubur sengkolo, bubur merah putih, serta aneka ragam polo pendem.

Sedangkan jajanan pasar ada tujuh jenis yang mewakili filosofi sebuah harapan atau pertolongan yang berasal dari Tuhan YME. Urap-urap memiliki simbol membaur atau bersatu padu serta menjadi manusia yang bermanfaat antara satu dengan yang lain.

Uniknya lagi bicara soal langse atau mori putih yang diambil dari Palenggahan Agung Srigati yang sudah tidak terpakai itupun boleh dikatakan menjadi barang kramat atau mempunyai tuah tersendiri.

Terbukti, kurang dari 30 menit langse atau mori sepanjang 15 meter itu sudah habis dibagikan kepada warga dari berbagai daerah dengan cara dipotong-potong oleh para pemangku Palenggahan Agung Srigati.

Menurut seorang pengunjung asal Solo Jawa Tengah mengaku kain langse atau mori yang baru dia dapat sangat dipercaya mampu menangkal segala macam bahaya dan dapat dipercaya memperlancar segala urusan baik ekonomi maupun lainya.

Kemudian terkait tradisi ganti Langse sendiri menurut Suyitno secara gamblang menerangkan asal usul Palenggahan Agung Srigati maupun tradisi ganti langse itu sendiri.

Suyitno secara tuntas menerangkan asal mula dari keberadaan Palenggahan Agung Srigati. Menurut Suyitno sejarah mencatat keberadaan Srigati di Alas Ketonggo erat kaitanya dengan masa runtuhnya Kerajaan Majapahit kala itu di bawah Prabu Brawijaya V.

Suyitno mengutip pernyataan Gusti Pangeran Dorodjatun dari Kasunanan Surakarta tahun 1974 ketika itu mendatangi Alas Ketonggo sesuai mata batinnya atau hasil penerawanganya mengatakan di dekat lokasi Tempuran Pesing ada Punden Krepyak Syeh Dombo.

Di punden itu mendasar keterangan Pangeran Dorodjatun saat itu dapat dikaitkan dengan riwayat perjalanan atau lengsernya Prabu Brawijaya sebelum muksa di puncak Gunung Lawu.

Di Punden Krepyak Syeh Dombo yang sekarang dikenal Punden Srigati itu ditengarai Prabu Brawijaya melepaskan baju kebesarannya dengan dilanjutkan siram jamasan di Kali Tempur yang berada kurang lebih 200 meter dari Punden Srigati.

Setelah siram jamas sebagai bentuk penyucian diri lalu Prabu Brawijaya bersemedi/berdoa dan mendapatkan satu petunjuk dari Tuhan YME untuk pergi ke puncak Gunung Lawu secara Islam dengan gelar Sunan Lawu.

Histori itu kata Suyitno masih mengutip pernyataan dari Pangeran Dorodjatun, bahwa Alas Ketonggo pada dasarnya mempunyai riwayat keterpaduan dengan Kerajaan Majapahit. Hal itu sesuai survei Pangeran Dorodjatun yang diawali dari wilayah Trowulan Mojokerto sampai Alas Ketonggo berlanjut ke puncak Gunung Lawu.

Sedangkan Tradisi Ganti Langse dimulai dan dilaksanakan sejak tahun 1988 oleh Mbah Somodarmojo Kepala Desa Babadan kala itu. Intinya ganti langse merupakan bentuk perwujudan atas sebuah harapan kepada Tuhan YME sebagai harapan baru akan perjalanan hidup menuju ketentraman dan kesejahteraan.

Untuk pelaksanaan tradisi ganti langse memang dilaksanakan setiap bulan Muharam atau Suro tepat pada bulan purnama dalam hal ini jelas tanggal 15 hitungan bulan Hijriah tanpa melihat hari maupun weton pasaran dalam hitungan penanggalan Jawa. (dik/mkd)