Bani Togog Menjual Tuhan Kemana-mana

MALAM makin larut. Bagong duduk di teras rumah. Sendiri. Sudah beberapa hari ini dia tidak ketemu Gareng, apalagi Petruk. Batang hidung saudaranya yang panjang ini sudah lama menghilang. Katanya mengembara. Entah mengembara kemana.

Mata Bagong menerawang jauh. Dia ingat guyonan saat masih bersama saudara-saudaranya. Sesekali tatapannya jatuh dalam sekelebatan bayangan malam. Lalu, menghilang. Rasa kantuk mulai menyergap. Teklak-tekluk.

Eit, dia kembali sadar. Belum saatnya tidur. Masih ada yang mengganjal di benak.

Yaitu: rakyat.

Belakangan ini rakyat mulai tidak tentram. Kerajaan Lojitengara bukan lagi tempat aman untuk ditinggali. Makin tidak aman setelah kerajaan dipimpin Prabu Welgeduwelbeh.

Di luar sana rakyat berteriak. Kencang sekali. Jeritannya bahkan membuat penghuni kahyangan terkencing-kencing.

Soyo suwi soyo soro.

Yang dimaksud (hidup) makin lama makin susah sejak dipimpin Prabu Welgeduwelbeh.

Raja baru yang katanya dari rakyat jelata, yang katanya peduli wong cilik, yang katanya mau memberi kesejahteraan, yang katanya meningkatkan taraf hidup orang banyak, yang katanya mau meningkatkan pendidikan, yang katanya mau memberi jaminan kesehatan, yang katanya akan memberantas korupsi sampai akar-akarnya, yang katanya mau bikin jalan tol laut, yang katanya tidak impor lagi alias swasembada pangan, ah mbelgedhes.

Selalu katanya. Bosan rakyat mendengar janjinya.

Kini, rakyat menagih janji. Tapi, saat janji ditagih, sang raja melalui prajurit-prajuritnya justru bertindak represif. Rakyat dihalang-halangi nagih janji.

Rakyat digebuki. Rakyat dipentungi, dicambuk, ditombak, dipedang, dan dipanah. Padahal semua persenjataan itu dibiayai dari pajak rakyat. Tega.

Tidak ada lagi rasa aman di negeri Lojitengara.

Raja Welgeduwelbeh bersama para abdi dalem memusuhi rakyatnya sendiri. Rakyat yang kritis dan melawan sang raja, bakal difitnah habis-habisan.
Dibilang antek musuh. Pemberontak. Ujung-ujungnya masuk penjara.

Untuk mencitrakan diri sebagai raja paling hebat, para abdi dalem kerajaan menggunakan bantuan Togog. Anak buah (Bani) Togog disebar ke segala penjuru. Masuk dari kampung ke kampung. Menyamar sebagai orang alim, menjadi kaum terpelajar, hingga rakyat jelata.

Dengan otak-otak mereka yang sedikit miring itu, Bani Togog kemudian melancarkan tipu muslihat.

Menyebar fitnah. Menggiring opini publik. Membingungkan rakyat.

Agama lantas jadi bahan olok-olok. Begitu mudah diperjualbelikan. Tuhan dijual kemana-mana dengan harga murah.

Raja Welgeduwelbeh dianggap sebagai titisan dewa. Ada juga Bani Togog yang menyamakan sang raja dengan nabi. Nanti, kalau rakyat sudah hidup dalam kegelapan, bisa-bisa Raja Welgeduwelbeh dianggap sebagai Tuhan.

Celakanya kalau Raja Welgeduwelbeh sudah dianggap Tuhan, seluruh tatanan marcapada (dunia manusia) akan hancur. Sekarang ini sudah terlihat tanda-tandanya.

Segala yang fitrah sudah tidak lagi pada tempatnya. Pemimpin telah menjadi jongos, pengusaha menjadi pejabat, pandito (pemuka agama) menjadi politikus dan wakil rakyat, pelawak menjadi idola, dan kesatria telah kehilangan keperwiraannya.

Wolak-walike jaman sudah terjadi. Kuda mulai doyan makan sambal. Kambing mulai doyan makan daging. Yang terjadi, kedua hewan itu menjadi buas dan keji. Semua diamuk yang tidak sesuai dengan kemauannya. Yang aneh, harimau menjadi lemah lembut karena hanya makan rumput. Si raja hutan yang memegang dan menguasai ‘hukum alam’ menjadi pengecut.

Itulah sebaran kebohongan yang diciptaan Bani Togog. Mereka membolak-balikkan sendi-sendiri kehidupan. Yang benar dibuat salah, yang salah dibuat benar. Yang salah dibela, yang benar dicaci maki.

Semua ini adalah kegelisahan Bagong. Dia sadar negeri ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ada yang tidak beres. Negeri mengalami gonjang-ganjing (kekacauan) sangat parah, sudah tidak wajar lagi.

"Aku penasaran dengan Prabu Welgeduwelbeh, siapa dia?” Tanya Bagong dalam hati.

"Awas koe Welgeduwelbeh, tak bongkar rahasiamu,” celetuk Bagong.

Dan, Bagong pun mulai njambal (tidak punya tata karma). Mulai detik ini Bagong akan berbicara atas nama kebenaran. Yang menghalangi akan dilawan, tidak peduli orangtua, saudara, dewa, pejabat, pandito, ksatria, maupun rakyat. Baginya, kebenaran harus ditegakkan. Keburukan Prabu Welgeduwelbeh bersama para abdi dalem dan Bani Togog harus diungkap.

Bagong memang belum pernah bertemu Prabu Welgeduwelbeh atau dikenal Prabu Kanthong Bolong atau tak lain saudaranya sendiri, yakni Petruk. Cuma yang Bagong tahu, kepemimpinan Prabu Welgeduwelbeh telah membuat ontran-ontran (keonaran) negeri. Gonjang-ganjing tak berkesudahan. Rakyat dibuat sengsara.

Noviyanto Aji

Wartawan