14 Menit

”HONG KONG itu mestinya sudah lenyap dalam 14 menit. Saya lah yang membuat Hong Kong tidak jadi lenyap”.


Saya tidak perlu mengajari Anda. Anda sudah tahu. Setidaknya sudah bisa menebak. Saya sudah terlalu sering kecewa --tapi bangga-- oleh keahlian pembaca DI’s Way menebak.

”China itu sudah menyiapkan 1 juta tentara di dekat Hong Kong,” tambahnya. ”Lalu saya bilang kepada Xi Jinping jangan lakukan itu. Anda salah besar kalau lakukan itu,” ujar Presiden Donald Trump, menceritakan kembali apa yang ia katakan kepada presiden China itu.

Tidak usah kita pertanyakan: benarkah sudah disiapkan 1 juta tentara di dekat Hong Kong. Benarkah ia menyarankan itu kepada Xi Jinping. Benarkah Xi Jinping tidak melenyapkan Hong Kong berkat kata-kata Trump --bahkan benarkah Xi Jinping punya rencana itu.

Kita tahu Xi Jinping tidak pernah tunduk kepada kata-kata Trump.

Kita juga tahu Trump lagi tersudut. Bukan hanya soal impeachment, pun soal Hongkong.

Kongres sudah mengesankan UU yang menghukum Hong Kong. Trump harus menandatanganinya. Atau tidak.

Begitu ia menandatangani sama dengan ia menumpahkan bensin pada bara yang sudah menyala.

Di Hong Kong sendiri kondisinya sudah berubah. Drama Tian An Men tidak terjadi di Hong Kong. Padahal sudah banyak yang cemas dan tegang.

Analis memperkirakan kampus Politeknik Hong Kong akan diserbu. Ratusan mahasiswa akan mati. Saat itu masih sekitar 600 mahasiswa terkepung di kampus itu.

Tapi sampai seminggu kemudian tidak terjadi apa-apa. Polisi memang masih terus mengurung kampus seluas hampir 8 hektar itu. Tapi dari hari ke hari terus ada yang menyerahkan diri.

Sampai pukul 21.00 tadi malam tinggal ”beberapa lusin” pendemo yang terkurung di kampus itu.

Mereka terus terisolasi oleh polisi yang tepung-gelang.

Sepanjang hari Kamis memang tidak ada satu pun pendemo yang menyerahkan diri. Rupanya yang tersisa di sana adalah yang ”teradikal”. Yang pilih ditangkap daripada menyerahkan diri. Pun pilih mati.

Beda dengan hari Senin dan Selasa lalu --hari kedua dan ketiga pengepungan. Hari itu begitu banyak yang meninggalkan kampus. Dari sekitar 2.000 orang tinggal 600-an.

Keesokan harinya, Rabu, banyak lagi yang meninggalkan kampus. Ada yang dijemput guru mereka. Atau dijemput tim kesehatan.

Ada yang langsung ditahan, ada yang hanya didata identitas mereka --untuk kemungkinan suatu saat dipanggil polisi.

Yang berumur di bawah 18 tahun sudah tidak ada lagi. Yang wanita belum diketahui.

Selasa lalu tiga mahasiswi berusaha lolos. Mereka membuka tutup parit yang berat itu. Yang bundar itu. Yang terbuat dari besi itu.

Satu per satu mereka masuk ke dalam lubang. Lalu menelusuri gorong-gorong parit yang gelap. Dan kotor. Dan berbau.

Sekali mereka kepergok ular. Banyak juga ketemu kecoa. Berdasar pengakuan mereka di media Hong Kong mereka sangat ketakutan. Lebih takut dibanding menghadapi polisi antihuru-hara.

Para wanita itu tidak menemukan lubang untuk keluar. Akhirnya mereka balik kucing ke lubang awal. Menyerahkan diri.

Ada juga yang ke atas jembatan. Ingin turun dengan tali. Tapi polisi keburu mengetahui. Yang menjemput di bawah tali pun ikut ditangkap.

Banyak sekali cara sembunyi-sembunyi yang mereka usahakan untuk lolos. Tapi polisi benar-benar menutup semua jalan keluar. Termasuk jalan-jalan tikus.

Jumat pagi kemarin satu tim penolong diizinkan masuk. Siapa tahu ada yang sakit. Atau ingin menyerah. Beberapa orang ikut tim itu keluar kampus.

Langsung dimasukkan ambulans. Setelah didata identitas mereka.

”Sulit mengetahui jumlah pasti yang masih ada di dalam kampus,” ujar anggota tim itu.

Mereka menyebar ke berbagai gedung. Juga ke berbagai lantai. Kampus ini memiliki gedung tinggi lebih sepuluh buah. Beberapa di antara mereka bersembunyi dari intaian kamera. Bahkan ada yang naik ke tingkat tertinggi. Untuk tidur. Sudah lima hari mereka kurang tidur.

Banyak pintu yang kuncinya dijebol. Terutama pintu-pintu lab. Ada juga supermarket kampus yang sudah ludes. Inilah penjarahan pertama sejak gelombang demo di Hong Kong terjadi 9 Juni lalu. Mungkin mereka sangat kekurangan makanan dan minuman.

Sampai kapan beberapa lusin pendemo itu bertahan di dalam kampus?

Polisi mengumumkan: tidak ada target waktu. Polisi bertekad akan mengakhirinya dengan damai. Seruan agar mereka meninggalkan kampus terus disampaikan.

Awalnya ada yang mengira pengepungan kampus ini akan berakhir dengan berdarah-darah. Ada yang membayangkan akan terjadi seperti peristiwa Tian An Men. Hong Kong pun mencekam. Menanti apa yang akan terjadi.

Ternyata polisi tidak menyerbu kampus itu.

Saya perkirakan pasti ada: intelijen, malam-malam, mungkin masuk ke kampus. Di saat mereka terlelap kelelahan. Mereka didata. Siapa saja yang masih tersisa.

Yang jelas, ketika jumlah mereka masih sekitar 600, ternyata hanya 30-an yang mahasiswa politeknik.

Terowongan bawah laut di dekat kampus pun sudah mulai dibersihkan. Jumat lalu  kendaraan sudah boleh lewat. Gratis. Gerbang tol terowongan itu memang hancur oleh pendemo. Sedang diperbaiki.

Satu minggu lagi pun belum akan selesai. Berarti masih gratis. Praktis seperti membangun baru --saking parahnya kerusakan itu.

Apalagi mesin tiket elektroniknya juga harus diganti.

Kamis-Jumat kemarin adalah dua hari paling tenang di Hong Kong. Memang ada seruan solidaritas. Lewat grup telegram. Agar rakyat melumpuhkan lalu-lintas seluruh Hong Kong.

Tapi, hanya ratusan orang yang turun ke jalan. Bahkan Jumat kemarin lebih sedikit lagi. Itu pun hanya di dalam mal.

Entahlah Sabtu sore tadi. Atau Minggu.

Sejak lebih lima bulan lalu belum pernah ada Sabtu tenang. Apalagi Minggu. Selalu ada demo besar. Yang belakangan kian rusuh.

Minggu hari ini fokus Hong Kong adalah Pemilu legislatif.

Boleh juga.

Di tengah begitu rusuhnya demo persiapan Pemilu jalan terus.

Memang, di Pemilu ini TPS-TPS akan dijaga lebih ketat. Ada gerakan di medsos untuk menggagalkan Pemilu. Meski bisa saja yang demikian itu rekaan siapa saja.

Bagi yang suka judi, bolehlah. Minggu hari ini jadi bahan perjudian: tetap bisa tenang atau rusuh lagi. Biar pun hanya 14 menit.