Industri Wisata India Terpuruk Karena Bentrokan Polisi dan Demonstran

Gelombang protes terkait UU Kewarganegaraan baru sedang terjadi di India, berpengaruh signifikan terhadap industri wisata India.


Setidaknya 25 orang terbunuh dalam bentrokan antara polisi dan demonstran yang memprotes mengenai UU tersebut.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Israel, Singapura, Kanada, dan Taiwan telah mengeluarkan saran perjalanan yang meminta warganya untuk tidak mengunjungi atau berhati-hati ketika pergi ke daerah-daerah yang terlibat protes India.

Menurut inspektur polisi yang mengawasi kantor polisi wisata khusus di dekat Taj Mahal, Dinesh Kumar, terjadi penurunan jumlah wisatawan ke Taj Mahal jika dibandingkan dengan Desember tahun lalu.

"Telah terjadi penurunan jumlah pengunjung sebesar 60 persen pada bulan Desember ini," katanya, melansir Reuters seperti dikutip dari Kantor Berita RMOL, Minggu (29/12).

"Orang India dan turis mancanegara telah menghubungi ruang kontrol kami untuk mengecek keamanannya. Kami menjamin keamanan mereka tetapi banyak yang memutuskan untuk menjauh," keluh Kumar.

Bangunan ikonik India yang terletak di Uttar Pradesh ini dijauhi turis karena jumlah korban meninggal dari gelombang protes paling banyak berasal dari wilayah India bagian utara. Protes yang diwarnai kekerasan ini telah berlangsung selama dua minggu tanpa henti.

Penginapan seperti hotel dan guest house di sekitarnya juga terdampak. Mereka mengatakan pembatalan pada musim liburan ini membuat bisnis mereka turun.

Hal ini juga diperparah dengan kondisi pertumbuhan ekonomi India yang melambat menjadi 4,5 persen. Kondisi ini merupakan yang terburuk dalam 6 tahun terakhir.

Selain bentrokan selama protes, pemerintah India juga memperburuk situasi dengan mengeluarkan keputusan untuk menangguhkan layanan internet di Agra.

"Memblokir internet telah mempengaruhi travel dan turisme di Agra sekitar 50-60 persen," kata President of Agra Tourism Development Foundation, Sandeep Arora.
Protes yang terjadi di India terjadi menyusul dikeluarkannya UU Kewarganegaraan baru yang dinilai diskriminatif.[bdp]