Batalkan Rencana Pemindahan Ibukota Negara!

DI tengah semakin beratnya beban hidup rakyat akibat pandemik Covid-19 dan kondisi keuangan negara yang semakin terbebani utang, akhir Maret 2020 lalu Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut B. Pandjaitan (LBP) menyatakan bahwa ambisi Jokowi untuk memindahkan IKN akan tetap diteruskan (24/3/2020).


Dikatakan, tim dari Kemenko Marves bersama Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan masih terus melakukan koordinasi dengan berbagai calon investor dan mitra untuk pengembangan IKN.

Sejalan dengan LBP, Presiden Jokowi pun ingin mewujudkan "ambisi" memindahkan Ibu IKN dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebelum masa jabatan kedua berakhir.

Mimpi ini akan direalisasikan karena telah didukung DPR, mayoritas partai politik serta sejumlah pakar dan akademisi dengan berbagai alasan sumir. Dengan begitu, Jokowi tak merasa perlu membuat kajian kelayakan komprehensif dan tidak pula peduli dengan mayoritas rakyat yang menolak.

Ambisi pemindahan IKN yang konon dipromosikan sebagai economic deriver untuk pertumbuhan ekonomi merupakan program yang memberatkan keuangan negara, tidak pro pemerataan, tidak prioritas, tidak didukung kajian dan pertimbangan objektif, akan menambah beban utang negara, serta berpotensi moral hazard.

Apalagi jika melihat kondisi ekonomi rakyat dan keuangan negara yang semakin morat-marit akibat pandemik Covid-19. Karena itu, program pemindahan IKN memang harus segera dibatalkan!

Beban Utang Meningkat Tajam

Sikap ambisius Jokowi memindahkan IKN telah terrefleksi dalam penetapan APBN 2020 pada 24 September 2019 yang lalu. Meskipun masih dalam tahap kajian dan belum memiliki landasan hukum berbentuk undang-undang, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 2 triliun untuk pemindahan IKN yang tersebar dalam anggaran sejumlah kementrian.

Sikap arogan dan menabrak aturan ini diambil pemerintah di tengah defisit APBN yang semakin besar, sehingga beban utang negara dalam APBN akan semakin berat dari tahun ke tahun.

Dalam bulan Februari 2020 pemerintah menambah utang sebesar Rp 130,63 triliun terhadap total utang yang sebelumnya telah mencapai Rp 4.817,55 triliun. Selama sekitar 5 tahun "berkuasa", Jokowi telah meningkatkan utang negara dari Rp 2.600 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp 4.948,18 triliun pada akhir Februari 2020.

Artinya, Jokowi telah menambah utang negara sebesar Rp 2.348 triliun, atau meningkat sekitar 90 persen!

Dengan pandemi Coivd-19, pemerintah telah menerbitkan Perppu No. 1/2020 yang antara lain berisi ketentuan relaksasi batas defisit APBN menjadi 5 persen, dari 3 persen yang berlaku saat ini, untuk 3 tahun ke depan.

Selain itu, perppu ini juga menambah alokasi belanja Rp. 405 triliun yang menurut Menkeu Sri Mulyani sebagian didanai dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), dana BLU, realokasi penyertaan modal negara, dan utang (1/4/2020).

Menkeu tidak menyebutkan secara eksplisit tentang akan adanya realokasi dan pengurangan atau penghapusan anggaran yang tidak prioritas, seperti anggaran untuk IKN. Dengan demikian, sebagian besar anggaran untuk tambahan belanja Rp 405 triliun tersebut akan ditutup dengan utang baru.

Dalam hal ini proyek mercu suar IKN pun akan dilanjutkan. Artinya utang negara yang sudah sangat besar tersebut akan semakin meningkat akibat wabah virus corona, dan akan diperparah oleh ambisi Presiden Jokowi memindahkan IKN.

Kemiskinan dan Gini Ratio Masih Tinggi

Dalam laporan keuangan pemerintah disebutkan realisasi pembayaran bunga utang pada 2019 mencapai Rp 275,5 triliun. Sedangkan untuk tahun 2020 ini, anggaran pembayaran bunga utang adalah 295 triliun. Jika ditambah dengan pembayaran pokok utang Rp351 trilliun, maka total pokok dan bunga utang yang harus dibayarkan dalam APBN 2020 adalah Rp 646 trilliun.

Anggaran untuk utang tersebut jauh di atas anggaran untuk Program Perlindungan Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, termasuk subsidi yang jumlahnya Rp 372,5 triliun.

Pembangunan IKN sesuai konsep awal adalah menjadikan IKN sebagai economic driver atau sebagai penggerak ekonomi melalui urban development. Dalam hal ini, faktor utama yang menjadi pertimbangan adalah aspek ekonomi, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, lingkungan, budaya, hankam, dll., secara seimbang.

Faktanya, kajian komprehensif guna menganalisis berbagai aspek tersebut belum dilakukan pemerintah, apalagi jika berharap akan adanya keterlibatan berbagai stake holders yang relevan.

Ditinjau dari aspek sosial-politik, pengentasan kemiskinan dan pemerataan Indonesia bagian timur dengan barat justru akan jauh lebih efisien dan efektif jika dilakukan melalui intensifikasi dan konsistensi pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, industri (khusus) dan produksi yang tersebar di berbagai daerah.

Kemiskinan yang merata di seluruh daerah akan dapat dientaskan melalui pembangunan sentra-sentra industri dan produksi yang relevan bagi tiap daerah. Pengentasan kemiskinan tidak akan efektif dan efisien dengan pemindahan IKN yang titik beratnya hanya pada aspek ekonomi, dan sejak awal tidak dimaksudkan pula menjadi kota industri dan pusat produksi!

Populasi masyarakat miskin di Indonesia masih tinggi seperti terlihat pada tingkat kemiskinan sekitar 10 persen. Tingkat ketimpangan kaya-miskin nasional pun masih lebar dengan Gini Ratio sekitar 0,39.

Dengan kondisi gagal panen akhir-akhir ini, ditambah pula dengan kehidupan ekonomi yang memburuk akibat wabah Covid-19, maka sangat jelas bahwa tingkat kemiskinan dan gap kaya-miskin pun akan meningkat. Ternyata LBP dan Jokowi masih tetap ngotot untuk membangun IKN baru tanpa peduli nasib rakyat miskin!

Mayoritas Beban IKN Ditanggung APBN

Menurut pemerintah pemindahan IKN dimaksudkan untuk mewujudkan visi Indonesia sentris melalui pembangunan yang merata dan penciptaan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Anggaran pemindahan IKN adalah sekitar Rp 466 triliun yang berasal APBN, swasta dan swasta/BUMN dalam skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Kementerian Keuangan merinci anggaran pemindahan IKN dengan skema pembiayaan sbb:

a. Melalui APBN, porsi 19,2 persen atau Rp 89,472 triliun untuk membangun: 1) Infrastruktur pelayanan dasar; 2) Istana negara dan bangunan strategis TNI/Polri; 3) Rumah dinas PNS/TNI/Polri; 4) Pengadaan lahan; 5) Ruang terbuka hijau; 6) Pangkalan militer.

b. Melalui swasta, 26,2 persen atau Rp 122,092 triliun, untuk membangun: 1) Perumahan umum; 2) Perguruan tinggi; 3) Peningkatan bandara, pelabuhan, dan jalan tol; 4) Sarana kesehatan; 5) Shopping mall; 6) MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition).

c. Melalui KPBU, 54,6 persen atau Rp 254,436 triliun, untuk membangun: 1) Gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif; 2) Infrastruktur selain yang tercakup APBN; 3) Sarana pendidikan dan kesehatan; 4) Museum dan lembaga permasyarakatan; 5) Sarana penunjang.

Rencana pemindahan IKN yang diklaim hanya menggunakan APBN sebesar Rp 89,472 triliun di atas, supaya terlihat rendah, ternyata mengandung unsur manipulasi.

Pertama, menurut Pasal 5 Perpres No. 38/2015 tentang KPBU, sarana yang boleh dikerjasamakan sesuai skema KPBU adalah sarana ekonomi dan sosial. Karena itu, sarana gedung eksekutif, legislatif dan yudikatif jelas tidak termasuk sarana yang didanai swasta melalui skema KPBU, tetapi harus didanai negara melalui APBN.

Kedua, meskipun sarana dan gedung-gedung tersebut dikerjasamakan dengan swasta melalui skema KPBU, pada akhirnya pemerintah perlu membayar biaya sewa dalam bentuk biaya operasi setiap kementerian dan lembaga yang memanfaatkan sarana tersebut.

Akhirnya, tetap saja negara melalui APBN-lah yang harus membayar biaya sewa/operasi sarana tersebut! Bahkan jumlahnya pun pasti lebih besar karena di dalam skema KBPU terkandung unsur keuntungan swasta yang harus dibayar, dibanding jika sarana dibangun pemerintah.

Ketiga, biaya sebesar Rp 466 triliun di atas hanya memperhitungkan pembangunan sarana. Padahal dengan pindah IKN, sebagian Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerintah pusat yang saat ini berjumlah 1,4 juta orang juga perlu pindah.

Jokowi memastikan bahwa seluruh ASN di pemerintah pusat akan pindah ke ibukota baru pada 2024 (27/1/2020). Seandainya pun ASN yang ikut pindah hanya sekitar 200.000 orang, maka akan dibutuhkan juga biaya sekitar Rp 5 hingga Rp 7 triliun.

Dominasi Swasta/Asing!

Secara keseluruhan, biaya yang akan ditanggung APBN karena pindahnya IKN akan sangat besar dan berlangsung bertahun-tahun. Namun terlepas dari beban APBN yang berat tersebut, pihak swasta akan sangat dominan membangun IKN baru.

Penggunaan skema KPBU yang menggunakan dana swasta hingga Rp 254 triliun, ditambah swasta murni Rp 122 triliun, akan menjadikan kantor-kantor IKN sebagai proyek bisnis yang sangat menguntungkan bagi swasta/asing. Dalam hal ini, perburuan untung besar oleh oligarki penguasa-pengusaha lah yang tampak menjadi motif utama ambisa Jokowi memindahkan IKN!

Padahal, seluruh sarana terkait penyelenggaraan negara, terutama kantor-kantor eksekutif, legislatif dan yudikatif, berikut sarana penunjangnya, sesuai konstitusi haruslah dibangun negara/pemerintah.

Karena motif bisnis di satu sisi dan sikap defensif atas gugatan beban APBN yang besar di sisi lain, maka Jokowi tetap memaksakan pembangunan IKN baru. Karena motif bisnis pulalah maka proyek IKN ini dengan sangat arogan dijalankan oligarki penguasa-pengusaha melalui pendekatan konspiratif, sistemik dan otoriter!

Negara akan membayar keuntungan bisnis swasta/asing membangun berbagai sarana IKN dalam jumlah sangat besar pada tahun-tahun mendatang. Yang lebih ironis, dengan peran swasta yang dominan, maka peran pemerintah menjamin kedaulatan negara dan martabat bangsa akan berkurang atau hilang.

Artinya, peran swasta membangun IKN pasti mengancam kedaulatan negara dan martabat bangsa. Sebab, infrastruktur politik strategis dan objek vital negara, seperti juga untuk persenjataan TNI, seharusnya dibangun dan dikuasai sepenuhnya oleh negara.

Jika peran swasta dibiarkan seperti di atas, maka pemerintah tidak akan dapat berfungsi secara penuh dan independen menjalankan fungsi konstitusional negara.

Dengan demikian, pembentukan pemerintah guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan pada Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dan berdasarkan Pancasila pun pasti tidak akan terpenuhi.

Uraian di atas menunjukkan ambisi pembangunan IKN baru jelas akan melanggar UUD 1945, Pancasila dan sejumlah UU.

Selain itu, karena ingin menunjukkan IKN baru tidak membebani keuangan negara/APBN dengan berlindung di balik dana swasta, sebetulnya pemerintah melakukan kesalahan-kesalahan lain secara bersamaan: membisniskan sarana vital negara, memberi peluang dan keuntungan bisnis oligarkis kepada swasta/asing, membebani keuangan negara secara jangka panjang, serta sekaligus menggadaikan kedaulatan negara dan martabat bangsa!

Ditambah dengan beban utang yang akan meroket, serta target pemerataan dan pengentasan kemiskinan yang tidak akan efektif dan efisien, maka pembangunan IKN baru memang sudah saatnya dibatalkan!

Marwan Batubara

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress).