Menempatkan Baper Pada Tempatnya

BAPER termasuk dalam bahasa gaul yang tidak lagi asing di telinga kita. 'Baper' singkatan dari bawa perasaan.


Maksud dari bawa perasaan adalah seseorang menyaksikan atau mendengar suatu hal, kemudian perasaannya terbawa akan hal yang disaksikan atau didengar (ensiklopedia1.com).

Bisa dibilang, masa ini adalah masa kebaperan banyak hal. Entah baper dalam persoalan cinta, keluarga, sekolah, rival, bahkan dalam hal politik. Siapapun bisa mengalami baper. Baik anak-anak, orang dewasa, hingga pejabat negara.

Apakah mudah tersinggung bisa dikatakan ia sedang baper? Bisa jadi iya. Baper karena dipuji. Baper karena dihina. Dan baper lantaran dikritik. Dalam soalan cinta, baper mungkin banyak melanda kaum muda.

Sebagaimana lagu 'Aisyah Istri Rasulullah' yang bertengger di 10 teratas selama beberapa pekan terakhir. Bahkan menembus 22 juta penonton. Cukup fantastis dan mungkin belum pernah terjadi. Lagu yang sama, lirik yang sama dicover hingga merajai 10 besar di YouTube. Viralnya lagu 'Aisyah Istri Rasulullah' berhasil membuat baper kalangan milenial. Romantisme Sayyidah Aisyah dengan Baginda Nabi Muhammad bikin mereka jatuh hati pada lagu itu.

Untuk sebaris lagu, betapa dahsyatnya baper itu merajalela di kalangan anak muda. Anehnya, mengapa selama ini mereka tak baper dengan perjuangan Rasulullah dalam memenangkan dakwah? Mengapa pula tak baper menyelami pribadi Aisyah r.a. yang teguh dalam beragama? Mengapa tak baper melihat kecerdasan Aisyah r.a. bahwa beliau adalah golongan sahabiyah yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi. Bahkan beliau menjadi rujukan para sahabat selepas Nabi wafat.

Dalam hal sama, saya pun berpikir tentang kedudukan 'baper' yang benar itu seperti apa. Baper ternyata tak hanya soalan cinta dan keromantisannya. Dalam persoalan publik, baper juga banyak menjangkiti kelompok pejabat dan politisi.

Ada pejabat dibilang tidak peka dan hanya mikir uang, uang, dan uang. Ia merasa tersinggung dan berniat melaporkan pejabat yang bersangkutan.

Ada aktivis Islam dalam videonya mengkritisi salah satu kebijakan penguasa dalam menangani wabah Covid-19. Ia pun akhirnya ditangkap polisi lantaran dianggap telah menghina presiden dengan makiannya. Tak butuh waktu lama. Pasal berlapis menantinya. Bahkan merembet hingga ke pasal pornografi.

Baper bila dikritik adalah hal wajar. Namun, yang tidak wajar ialah menjawab kritik dengan 'ancaman'. Entah melalui laporan hingga pasal penghinaan. Itulah yang sedang terjadi di negeri ini.

Kritik itu baik. Meluruskan yang bengkok agar tidak lagi berada pada kebengkokan. Kritik itu nasihat. Menasihati agar tidak terjerumus dalam jurang kezaliman dan kesewenangan.

Kritik itu mulia. Sebab, Islam memang ajarkan beramar makruf nahi mungkar. Menjawab kritik itu haruslah elegan. Kritik balaslah dengan kebijakan dan sikap yang berkeadilan. Bukan membalasnya dengan tangan besi. Memukul lawan dengan segudang kekuasaan yang dimiliki.

Semestinya, penguasa menempatkan baper pada tempatnya. Tempatkanlah baper saat melihat penderitaan rakyat. Dengan begitu, Anda akan terdorong untuk tidak mengambil kebijakan yang menyusahkan rakyat. Tempatkanlah baper saat melihat kesusahan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.

Dengan begitu, Anda tergerak untuk tidak grusa-grusu menetapkan kebijakan yang merugikan rakyat. Tempatkanlah baper saat hati nurani mengingat Tuhan. Dengan begitu, setidaknya rasa tega dan zalim terhadap rakyat berkurang.

Sayangnya, penguasa hari ini tidak menempatkan baper dengan benar.

Kritik dituduh makar. Kritik dibilang hinaan. Bila tak ingin dikritik, maka bersikaplah benar sebagai pemimpin. Kritik itu ada karena ada yang salah. Jangan menutup mata. Apalagi membungkam suara. Jika memang tidak siap dikritik lalu untuk apa berkuasa?Penguasa semestinya paham, siap memimpin berarti siap dihujat, dicaci-maki, dan bahkan dihina. Tentu saja harus sesuai porsi dan kadar yang dituntunkan dalam agama.

Bersikap terbuka dan lapang dada jauh lebih elok dipandang mata. Daripada menjawab kritik dengan 'pukulan' berupa hukuman. Berkuasa bukan untuk memukul rival. Berkuasa bukan pula ajang eksistensi diri. Berkuasa bukan untuk gagah-gagahan. Ini aku, kamu siapa? Bukan untuk itu.

Berkuasa seharusnya ladang menanam amal kebaikan. Berkuasa semestinya untuk memberi perlindungan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya. Sebab, setiap kekuasaan dan kepemimpinan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Ini hanya nasihat agar negeri ini selamat dari angkara murka pemilik kuasa alam semesta. Rasulullah saw bersabda, "Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim." (HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no 4011).

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban