Usir Covid-19, Kerabat Keraton Surokarto Gelar Topo Bisu di Kediri

Bagi orang Jawa, ritual Topo Bisu meruapakan tradisi tahunan untuk memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di tengah pandemik corona atau Covid-19, ritual ini digelar oleh sekelompok orang di Kediri agar terhindar dari musibah.


Pantauan Kantor Berita RMOLJatim, 9 orang berpakaian adat Jawa lengkap mendatangi perempatan Jalan Raya Doho Kota Kediri.

Mereka berdoa dengan menebarkan bunga tiga warna di tengah jalan. Bunga tiga warna ini memiliki simbol mewujudkan cipta rasa dan karsa. Sehingga Indonesia segera terhindar dari wabah Covid-19.

Wardana selaku Pangarso Mudo Paguyuban Kerabat Keraton Surokarto mengatakan, ritual yang dilakukannya saat ini merupakan bagian dari doa.

"Untuk menyatu bersama-sama kita panjatkan doa kepada Tuhan yang maha Esa. Menurut orang Jawa doa itu akan sampai jika terjadi cipta rasa dan karsa kita menjadi satu. Kalau hanya cipta saja tidak bisa itu hanya sebatas fisik, kalau rasa saja juga tidak bisa," kata Wardana.

Wardana mencoba mengartikan jika cipta merupakan kehendak, sedangkan rasa itu jiwa manusia. Sementara karsa adalah keinginan. Selain memohon doa keselamatan, ia juga berharap agar Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmatnya.

"Jadi menyebar kembang itu nggak apa-apa, bukan mistis. Itu hanya simbolis saja," ujar Wardana.

Selain menyebarkan bunga tiga warna di jalan, mereka juga menaruh sebuah makanan yang ditempatkan di sudut jalan. Makanan yang dibawa antara lain ingkung, bekakak dan jenang sengkolo.

"Ini merupakan simbolis adat Jawa. Selain untuk persembahan biar bisa dinikmati oleh warga. Jadi tidak ada yang mubadzir. Semuanya bermanfaat," lanjutnya.

Dan seperti makna dari ritual Topo Bisu itu sendiri, Wardana dan teman-temanya datang berjalan kaki dengan berdiam diri tidak berbicara.

Hal ini memiliki maksud sebagai ungkapan rasa keptihatinan atas musibah yang sedang terjadi menimpa warga.

"Istilah Topo Bisu mewujudkan keprihatinan kita dengan keadaan sekarang ini. Jadi kita jalan tanpa bicara, tanpa ada keramaian apapun. Jadi kita turut merasakan apa yang saudara saudara kita rasakan, artinya kebersamaan atau melu handar beni, melu hangrukepi," terangnya.

Kegiatan ritual baca doa dan persembahan makanan ini berlangsung kurang lebih 30 menit. Setelah acara selesai kesembilan orang ini kemudian membubarkan diri.

Pelaksanaan ritual sempat mendapat perhatian dari petugas kepolisian, mengingat ritual ini dilaksanakan pada malam hari.

Selesai acara, masyarakat yang ada di lokasi tanpa dikomando langsung menyantap hidangan.