Perppu 1/2020 Dompleng Corona, HRS Center: Terkonfirmasi Adanya Agenda Terselubung

Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 dinilai hanya kebijakan sapu jagat yang lebih mementingkan ekonomi dibanding keselamatan rakyat.


Hal ini disampaikan Direktur Habib Rizieq Shihab (HRS) Center, Abdul Chair Ramadhan dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (12/4).

Abdul Chair mencatat Perppu 1/2020 telah membatalkan sebanyak 12 UU, yaitu ketentuan umum dan tata cara perpajakan; Bank Indonesia; keuangan negara; perbendaharaan negara; lembaga penjamin simpanan; perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; kesehatan; desa; pemerintah daerah; MPR, DPR, DPR dan DPRD (MD3); pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan; dan APBN 2020.

Menurutnya, kedua belas UU tersebut dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan perppu a quo.

Dilihat dari judulnya, sambung Abdul Chair, perppu berlaku juga terhadap adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Ketentuan ini secara jelas dapat dilihat pada pasal 1 ayat 3.

“Namun, tidak ada kejelasan perihal ancaman apa yang dimaksudkan, selain pandemik Covid-19. Dapat dikatakan perppu tersebut telah mendompleng pandemi Covid-19," ujarnya.

Abdul melanjutkan, diterbitkannya Perppu 1/2020 tersebut dinilai lebih dimaksudkan untuk kepentingan pemerintah guna menetapkan batasan defisit anggaran untuk melampaui tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga tahun anggaran 2023 yang tercantum pada pasal 2 ayat 1.

"Di sini terkonfirmasi adanya agenda terselubung dengan memasukkan ketentuan dalam pasal 1 ayat 3 huruf b tersebut," jelas Abdul.

Sehingga, Abdul Chair menilai jika DPR menyetujui Perppu 1/2020 a quo tersebut menjadi UU, maka pemberlakuan darurat sipil akan terjadi.

"Maka bisa saja terjadi pemberlakuan darurat sipil yang bukan lagi didasarkan alasan "kedaruratan kesehatan masyarakat", namun dengan dasar adanya “kedaruratan negara", tentunya dikaitkan dengan ancaman yang membahayakan terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan," beber Abdul.

Selain itu, Abdul pun melihat pemerintah akan memberlakukan status darurat sipil dengan memanfaatkan situasi tertentu.

"Kita ketahui bahwa sebelumnya telah ada perppu ormas yang kemudian menjadi UU 16/2017. UU ormas ini, secara langsung maupun tidak langsung telah menyamakan ajaran Islam tentang konsep khilafah dengan ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme," terangnya.

Dengan demikian, Abdul membeberkan hasil hipotesis HRS Center atas persoalan tersebut. Jika Perppu 1/2020 ditetapkan menjadi UU, kemudian baik dalam masa penanganan pandemik Covid-19 maupun ketika pandemi telah berakhir, kemudian Presiden melihat adanya ancaman yang membahayakan terhadap perekonomian nasional atau stabilitas sistem keuangan, maka status Darurat Sipil dapat diberlakukan.

Karena, kata Abdul Chair, persoalan saat ini merupakan persoalan kesehatan yang mengancam keselamatan rakyat Indonesia.

"Sesuai dengan kondisi awal terbitnya perppu adalah dalam rangka merespon pandemi Covid-19 yang mengancam keselamatan jiwa rakyat. Adapun persoalan ekonomi adalah resultan,” terangnya.

“Jadi tidaklah dapat dibenarkan Perppu menyelipkan tambahan frasa "ancaman yang membahayakan" terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Tambahan demikian bersifat tidak pasti (multi tafsir)," tuturnya.