Kartini, Spirit Perjuangan Di Tengah Pandemik

“TERKADANG, kesulitan harus dirasakan terlebih dahulu, sebelum kebahagiaan yang sempurna datang”. Begitulah spirit Kartini hadir dalam jiwa-jiwa manusia Indonesia.


R.A. Kartini terpilih menjadi pahlawan Indonesia bukan karena mengangkat senjata melawan penjajah. Pemikiran dan tekat kuatnya yang diwariskan kepada generasi bangsa. 21 April menjadi momentum sakral bagi perjuangan Kartini dan para perempuan Indonesia.

Hari Kartini memang identik dengan kaum perempuan dan perjuangan emansipasinya. Kesetaraan yang diperjuangkan tidak membabi buta. Ia berusaha melawan ketidakadilan dalam wajah dominasi, eksploitasi, maupun hirarki.

Misalkan, ‘ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga di dapur, sumur, dan kasur’. Kartini saat itu sadar, bahwa pendidikan yang akan mengubah nasib perempuan.

Tentu saja Kartini tidak hanya memperhatikan nasib perempuan. Ia juga gelisah memikirkan sekat-sekat pemisah dan diskriminasi yang menimpa kaum minoritas. Karena bagi Kartini, kemajemukan adalah sebuah keniscayaan. Ia maju selangkah di zamannya, memperjuangkan hak asasi manusia dan pluralitas.

Dipingit Dan Bangkit

Kartini menjadi salah satu role model perempuan Indonesia. Ia berhasil mendobrak ketabuhan dan kekolotan. Ia menjadi sosok perempuan yang berbuat lebih dari yang dikodratkan.

Pemikirannya berhasil menembus dinding belenggu aturan adat, hanya karena ia seorang perempuan. Betapapun kerasnya kungkungan adat, akhirnya dapat dipatahkan.

Konteks sekarang ini, kita menghadapi pandemik virus corona baru (Covid-19) yang tidak mudah dilalui. Imbauan #dirumahaja nyatanya menimbulkan berbagai masalah baru, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Bahkan, di beberapa negara, tingkat KDRT meningkat saat pandemik Covid-19, termasuk Indonesia. Kelompok yang rentan mengalami kekerasan adalah perempuan dan anak-anak.

Rasa-rasanya kita seperti dipingit. Melakukan kegiatan di rumah dalam waktu yang cukup lama memberikan dampak secara psikologis; bosan, stres, depresi, dan lainnya.

Berbaur dengan kondisi ekonomi keluarga yang sedang tidak baik, tidak ada pemasukan, kehilangan mata pencaharian atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Masa-masa sulit seperti ini berpotensi besar menjadi pemicu KDRT, baik fisik, psikis, maupun seksual.

Rumah yang harusnya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman, dapat menjadi ancaman. Ketimpangan relasi gender terjadi di wilayah keluarga. Beban kerja bertambah bagi perempuan (double bourden).

Jika tugas domestik tidak terbagi bersama pasangan, maka perempuan mengalami tugas yang overload. Menjadi pekerja, guru, pengasuh utama anak, garda keluarga dalam memerangi virus, dan peran sosial lainnya. Ihwal tugas domestik dan pengasuhan anak, sungguh bukan kodrat istri. Itu tugas bersama.

Realitas Di Era Milenial

Kita akan membaca dalam cakupan yang lebih luas. Menurut World Bank (2018), di Indonesia, pendidikan bagi masyarakat kelas bawah menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki tidak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama. Yang menyelesaikan pendidikan menengah yaitu 44 persen laki-laki dan 37 persen perempuan.

Data lainnya disebutkan, partisipasi pekerja laki-laki mencapai 82 persen, sementara perempuan hanya 52 persen. Bahkan terjadi kesenjangan gaji, dimana tenaga perempuan dibayar lebih sedikit dibandingkan laki-laki.

Sementara menurut Mayer (2017) dalam bukunya ‘Attack of the 50th Woman: how gender equality can save the world’ bahwa masih ada ketimpangan representasi perempuan di dunia pemerintahan dan dunia politik.

Hal itu muncul karena masih ada stigma, salah satunya, perempuan lebih mengandalkan perasaan ketimbang laki-laki. Jika ini masih terjadi, bagaimana sebuah aspirasi berbuah menjadi kebijakan yang adil gender.

Filosofi dasar mengapa pendidikan bagi perempuan sangatlah penting. Karena mendidik perempuan berarti mendidik keluarga. Mendidik keluarga berarti mendidik generasi bangsa.

Artinya peranan ibu/perempuan sangat penting dalam membangun keluarga dan membangun bangsa.

Perempuan dan laki-laki memang berbeda (secara kodrat), namun tidak untuk dibeda-bedakan (secara peran). Sayangnya, masih ada anggapan pada kaum perempuan sebagai second person atau menempatkan perempuan pada posisi yang tidak strategis dan tidak penting.

Perlakuan ini menegasi keberadaan perempuan dan sangat diskriminatif. Padahal kesetaraan dan nirkekerasan adalah nilai dan prinsip yang harus ada untuk membangun kekuatan bangsa ini.

Di era kekinian, perempuan harus meneruskan cita dan asa Kartini. Tentu saja caranya sesuai dengan karakteristik era milneal. Milenial merupakan generasi yang banyak dipengaruhi oleh munculnya smartphone, meluasnya internet dan munculnya jejaring sosial media.

Karakter milenial diantaranya: connected/melek teknologi, berfikir kreatif, percaya diri, terbuka terhadap perubahan/mudah beradaptasi, memiliki banyak informasi, dan memiliki ekspektasi yang tinggi.

Sejak dulu banyak perempuan yang telah sukses melakoni bidang yang ditekuninya sejak usia muda. Margareth Thatcher, menjadi anggota parlemen Inggris pertama kali di usia 25 tahun.

Malala Yousafzai, mendapat penghargaan Nobel untuk perdamaian saat usia 17 tahun. Ia berani melawan penindasan dan memperjuangan pendidikan bagi anak-anak.

Lalu, Greta Thunberg, remaja 16 tahun asal Swedia yang mendapatkan anugerah Person of The Year 2019 oleh Majalah Time. Ia menginspirasi dunia dengan membangkitkan kesadaran akan bahaya perubahan iklim yang dapat mengancam dunia di masa depan.

Di Indonesia, Martha Christina Tiahahu, remaja pemberani yang terjun ke medan pertempuran melawan kolonial di usia 17 tahun. Marsinah menggalang demonstrasi buruh di usia 24 tahun.

Khofifah (yang kini menjadi Gubernur Jawa Timur) menjadi legislator/DPR RI termuda saat usia 26 tahun pada Pemilu 1992. Kemudian, di era digital saat ini, banyak perempuan muda yang telah sukses dengan bisnis startup.

Berdasarkan sejarah, tidak salah jika kita berharap kepada perempuan muda milenial untuk berkontribusi membangun bangsa dan negara. Karena Kartini pun telah memperjuangkan kemanusiaan di usia milenial.

Bagaimana Kesetaraan Dalam Islam?

Untuk menguatkan narasi di atas, perlu kiranya kita membahas bagaimana Islam memandang peranan perempuan. Islam adalah agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).

Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan atas keutuhan kemanusiaan, yakni perempuan setara dengan laki-laki.

Dalam QS. Al-Hujurat (49):13 bahwa ukuran kemuliaan manusia di sisi Allah adalah prestasi dan kualitas taqwanya. Tidak ada pembedaan jenis kelamin. Artinya Al-Quran tidak menganut paham the second sex, yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu.

Sebelum Islam hadir, perempuan dipandang bukan sebagai manusia seutuhnya. Perempuan tidak berhak bersuara, berkarya, berharta, bahkan tidak berhak atas dirinya sendiri.

Kemudian Islam secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia yang merdeka. Sejatinya, manusia (baik perempuan maupun laki-laki), diciptakan untuk mengemban misi sebagai khalifah fil ardh, paling tidak pemimpin bagi dirinya sendiri.

Oleh karenanya, perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi subjek. Maka tidak benar jika perempuan hanya sebagai pelengkap, dianggap tidak penting, tidak diperhitungkan, mengambil peran figuran, dan stereotipe lainnya.

Yang benar adalah, perempuan dan laki-laki dipandang sebagai manusia yang setara dan saling melengkapi.Perempuan dalam Islam juga tidak dibatasi ruang geraknya hanya urusan domestik.

Pembagian peran untuk kerja-kerja domestik bisa dilakukan bersama pasangan. Rasulullah telah memberikan teladan dalam praktik kehidupan rumah tangga.

Penuturan Aisyah, bahwa Rasulullah biasa melakukan tugas sehari-hari, yaitu melayani keluarganya disamping menunaikan ibadah kepada Allah (HR. Bukhari).

Lebih lanjut dalam hadits riwayat Ahmad dari Aisyah R.A: “Rasulullah seperti seorang manusia pada umumnya, membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya”.

Dari penjelasan di atas kita bisa meniru keteladanan yang sudah dicontohkan oleh Nabi dan keluarganya. Kesadaran akan adanya kesetaraan di dalam keluarga sangat penting.

Ketentraman dan kedamaian dalam keluarga dapat diciptakan dengan kolaborasi yang dibangun bersama suami-istri dan anggota keluarga lainnya.

Barangkali, ini cara memperingati hari Kartini. Karena keluarga menjadi benteng pertahanan untuk melewati pandemik Covid-19.

Athik Hidayatul Ummah

Penulis adalah Aktivis Perempuan dan Akademisi Universitas Islam Negeri Mataram