Menuju Normal

BUKU Legendary Service karya Ken Blanchard terasa berbeda. Berawal dari “kecelakaan” akhirnya terhanyut dan tenggelam dalam lembar demi lembar isinya yang meskipun tipis tapi dalam maknanya.


Setiap kali mengalami situasi yang “kacau” isi buku ini yang terngiang di lamunan dan memberikan dorongan untuk terus bertahan dan tidak menyerah. Jangan tertipu oleh judul atau tagline, ini bukan semata-mata soal berjualan atau menarik pelanggan. Buku ini, kalau dimaknai dan dipraktekkan dengan baik, akan berperan besar meningkatkan kualitas hidup kita.

Secara garis besar, buku ini menyajikan konsep pelayanan yang disingkat ICARE (ideal service, culture of service, attentiveness, responsiveness, empowerment) dengan narasi cerita menggunakan kacamata seorang wanita muda bernama Kelsey Young.

Dari seluruh ulasan tentang ICARE tersebut, ada 2 topik yang diulas dengan sangat panjang. Yang pertama adalah culture of service (Budaya Pelayanan), yang kedua adalah empowerment (Pemberdayaan). Terkait budaya akan dibahas lain waktu saja kalau ada kesempatan, kali ini mari kita fokus pada pemberdayaan.

Masih ingat Adolf Hitler? Oke, apa hubungan beliau dengan pemberdayaan? Jadi begini, salah satu hal utama yang ditekankan dalam pembahasan pemberdayaan dalam buku tersebut adalah “berhentilah mencari kambing hitam, fokuslah berdayakan dirimu”.

Sang pemimpin Nazi tersebut adalah contoh orang yang mencari kambing hitam dalam skala besar. Menjadi skala besar karena ternyata “jualannya” soal kambing hitam tersebut laris dan menjadikannya mendapat dukungan mayoritas untuk memimpin Jerman di masa itu. Meskipun kemudian dalam perang dunia ke-2 dia menjadi antagonis, ternyata pemikirannya (mencari kambing hitam) masih diadopsi oleh banyak orang di masa milenial ini.

Pemberdayaan seperti apa sebetulnya yang diharapkan? Dalam buku ini kita didorong untuk berkontemplasi. Curahkan pikiran sejenak untuk mengidentifikasi kemampuan dan posisi kita. Peluang-peluang apa yang bisa mendukung saya untuk maju? Langkah-langkah apa yang harus saya tempuh? Pertanyaan-pertanyaan itu perlu kita jawab.

Apabila ada sesuatu dari pihak lain (misal atasan atau rekan kerja) yang kita harapkan untuk dilakukan atau diubah, sampaikan, better than nothing, terkabul syukurlah, tidak pun tak masalah, satu beban hati yang berpotensi menjadi penyakit sudah lepas.

Ah teori, baik mari kita bicara prakteknya. Misal anda seorang programmer, bekerja di sebuah kantor bersama 10 programmer lain dan 1 teknisi jaringan, dengan bos yang selalu memaki-maki kesalahan anda dan tidak pernah memberi penghargaan terhadap prestasi anda. Apa yang harus dilakukan? Menghabiskan setiap hari saling bergosip memaki-maki sang bos di belakang, kebanyakan mungkin akan begitu.

Will that do anything good? Bukankah akan lebih bermanfaat bila sebagian (syukurlah kalau seluruhnya) waktu kita melampiaskan frustasi itu digunakan untuk hal yang bermanfaat. Belajar tentang jaringan pada si teknisi jaringan, belajar bahasa pemrograman baru, atau bahkan ikut kursus kepribadian secara online. Siapa tahu, seiring berjalannya waktu, ada peluang berpindah pekerjaan yang lebih baik dan ternyata lowongannya adalah teknisi jaringan.

Memang sounds too good to be true, tapi penulis pernah mengalaminya, dan sangat menyesal karena ketika kesempatan tersebut datang, penulis tidak siap menyambutnya.

Masih banyak lagi contoh yang bisa diambil, tapi sudah tidak perlu, karena sudah sangat jelas maksudnya. Penulis tidak menganjurkan kita menjadi seorang suci yang selalu sabar dan berprasangka baik, ini hanya anjuran untuk sedikit (syukurlah kalau banyak) membelokkan energi negatif kita ke arah yang berakibat baik untuk diri sendiri.

Kalau memang rasan-rasan pimpinan atau rekan kerja atau kambing hitam lain tidak bisa dihindari, ya silakan, tapi jangan berhenti di sana. Sembari rasan-rasan lakukan juga pemberdayaan diri agar seimbang. Agar di kemudian hari kita bisa dengan tegak mengatakan bahwa kita tidak menyesal karena menolak menjadi orang seperti mereka.

Di tengah pandemi dan segala pembatasan ini, tidak sedikit orang di sekitar kita terkena imbasnya baik langsung maupun tidak langsung. Mulai bisnis yang kukut (sepi/bangkrut), di-PHK, upah dipotong, bahkan meninggal karena terkena virus yang sedang menggelinjang ke mana-mana itu.

Namun yang membuat kagum, sebagian dari mereka tetap tidak menyerah, dan terus melakukan pemberdayaan diri, bahkan ada yang banting setir seutuhnya, menghianati tahun demi tahun yang dilaluinya untuk mendapat gelar akademis.

Bagaimana tidak, seorang lulusan perkapalan ternyata jualan kasur, magister MIPA jualan kue kering, dan banyak lagi.

Bagi mereka, asalkan halal, peluang untuk bertahan hidup harus diambil, tidak perlu terlalu memuja tingkat pendidikan kita. Kalau ingin konsisten di ilmu yang dikuasai, jadilah akademisi atau ilmuwan, jika tak bisa, maka peluang yang ada harus diambil, kira-kira demikianlah yang bisa saya sarikan dari pembicaraan dengan mereka, “Perut dulu baru passion”.

Petuah Graham Bell di atas sangat mungkin benar, namun yang seringkali menjadi masalah adalah terbatasnya daftar pintu yang kita ketahui. Salah satu cara untuk menambah daftar pintu tersebut adalah memperkaya dan memperluas pengetahuan, relasi, kemampuan dan sikap kita.

Kalau kita mau mencari dan bekerjasama mencari pintu yang terbuka, di tengah begitu banyaknya gigi roda ekonomi yang hancur terbelai pandemi, ada gigi-gigi peluang baru yang juga muncul. Sektor TIK misalnya, menurut tokoh Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jawa Timur justru permintaannya melonjak tinggi sehingga butuh banyak tenaga kerja tambahan.

Apakah untuk bekerja di sektor TIK kita harus punya pendidikan formal di bidang itu? tidak juga. Untuk sejumlah posisi tertentu mungkin mensyaratkan pendidikan formal, namun banyak juga posisi yang tidak mensyaratkan hal-hal tersebut. Banyak sekali pekerja TIK handal (khususnya yang berhubungan dengan infrastruktur) di lapangan yang justru tidak mengenyam pendidikan formal di bidang tersebut.

Selain sektor TIK, masih banyak juga sektor lain yang bisa dimasuki asalkan kita memiliki kemampuan yang sesuai. Dengan menjaga diri kita tetap bertahan, kita bisa kemudian membantu sekitar kita yang mungkin sulit (bukan tidak) untuk bertahan. Kita harus bangkit, menuju normal, new maupun tidak, karena normal bagi setiap orang bisa jadi sama namun juga bisa berbeda. Kita harus perjuangkan kenormalan kita, bantu sekitar kita untuk bisa normal juga, jangan menyerah, jangan terserah.

Mazuki Imron, sang ustadz Naruto, salah satu ustadz milenial yang sejuk dakwahnya memberikan tausiyahnya yang tegas.

“Indonesia GAK BOLEH TERSERAH,” demikian seperti tertulis dalam akun Instagramnya.

Bagi kita yang beriman dan percaya bahwa kelak kita akan mempertanggunjawabkan perbuatan kita sesudah mati, menyerah bukanlah pilihan. Penulis sangat mengerti, jangankan tenaga medis yang sudah berjuang mati-matian di garda depan, penulis yang termasuk kaum rebahan saja jengkelnya minta ampun melihat perilaku sebagian dari kita yang seolah-olah tidak peduli dan tidak sadar bahwa ketidakpeduliannya itu membahayakan.

Kecuekan yang berbahaya ini sebetulnya bukan penyakit baru, hanya saja di tengah situasi pandemi ini efeknya terasa dahsyat berlipat-lipat. Tapi mau bagaimana lagi, kalau kita punya kuasa kita bisa menegur, kalau tidak memiliki kuasa, alih-alih saling memaki sebaiknya kita mendoakan semoga yang punya kuasa bisa menyadarkan mereka.

Sembari berdoa kita tidak boleh menyerah, tetap lakukan yang bisa kita lakukan, berdayakan diri kita dan sekitar kita meskipun hanya setitik, dan terus mencari peluang untuk bertahan hidup bersama-sama, mencapai kenormalan, bahkan… meskipun akan sangat sulit…untuk bangkit.

Selamat hari kebangkitan nasional Indonesia.

Mardi

Pegiat Forum Kajian Jumat Malam (Kjam)