New Normal Mimpi

PROTOKOL new normal. Sebagian menganggap ini herd immunity. Tapi pemerintah lebih suka menyebut "berdampingan" dengan corona.


Arti sama, istilah beda. Cuma dibolak-balik. Hanya bikin bingung dan panik.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan memasuki tahap III atau penghabisan --meminjam kata-kata Anies Baswedan.

Berarti PSBB tahap I dan II gagal total. Sebab penyebaran Covid-19 masih meningkat.

Lalu untuk apa sesuatu terus diulang-ulang bila hanya menghasilkan kegagalan berulang-ulang?

Kini semua daerah saling membandingkan satu sama lain. Berlomba unggul-unggulan. Mana yang tercatat daerah paling banyak kasus corona.

Yang menang tidak ada bangganya sama sekali. Kalah apalagi.

Persis ucapan Luhut Panjaitan jika kasus corona tembus 20 ribu masih sebatas normal. Konyol.

Sudah jelas penanganan Covid-19 tidak serius. Atau, jangan-jangan Covid-19 hanya tipu daya?

Di tengah pandemi Covid-19 saya bermimpi. Dalam mimpi itu saya dikejar-kejar corona. Banyak rakyat ketakutan. Panik. Pada akhirnya mereka terjangkiti satu sama lain.

Setelah itu saya ditulari. Ajaib, virus corona yang masuk ke manusia tidak berdampak apa-apa. Semua sehat-sehat saja. Kebal. Tidak sakit. Tidak ada yang mati.

Mimpi itu bertolak belakang dengan hebohnya corona di pemberitaan. Di mimpi itu kasus corona setiap kali pengumuman disampaikan ke publik jumlah yang positif dan mati selalu menghebohkan.

Angka-angka tersebut membuat orang ketakutan. Di Amerika Serikat, angka kematian 100.000 sudah cukup membuat pening banyak orang.

Selama ini pemberitaan selalu memblow up cara penanangan pandemi Covid-19 secara gila-gilaan. Begitu juga prosesi pemakaman selalu dikesankan menakutkan dan mengerikan. Digelar sembunyi-sembunyi. Keluarga dilarang melihat maupun mendekat.

Tapi bagaimana dengan pasien yang sembuh. Yang sembuh selalu diberitakan kurang heboh. Sekedar seremonial. Yang sembuh diberi karpet merah. Diberi karangan bunga. Bye…bye…

Tidak ada pemberitaan bombastis seperti pemakaman. Tidak pemberitaan bagaimana proses kesembuhan itu terjadi.

Kabarnya proses kesembuhan itu berjalan alami karena daya tahan tubuh pasien yang kuat melawan virus.

Sejauh ini yang sembuh tidak dikasih apapun karena memang belum ditemukan vaksin dan obatnya. Hanya diisolasi dan sembuh sendiri. Ini tidak heboh.

WHO sebagai organisasi kesehatan dunia tentu berperan besar dalam pandemi Covid-19. Berperan dalam membesarkan nama Covid-19. Padahal sebelum-sebelumnya gagal.

Seperti yang pernah dilakukan pada waktu lalu saat Menkes masih dijabat Siti Fadilah. Flu burung yang digagas sebagai pandemi di dunia, gagal masuk ke Indonesia.

Buyar semua rencana global industri farmasi yang ingin menjual vaksin. Digagalkan oleh seorang Siti Fadilah yang kini dipenjara.

Selama menjabat menteri kesehatan, Siti Fadilah Supari dianggap sukses menangani urusan kesehatan serta menjalin kerja sama dengan negara lain untuk menekan penyebaran wabah flu burung dan flu babi.

Bahkan saat di penjara, Siti Fadilah menulis surat bahwa rakyat tidak butuh vaksin corona dan bisa hidup normal seperti biasanya.

Sayangnya ketegasan Siti Fadilah tidak diikuti penerusnya. Masuklah era Menkes Terawan. Sepertinya rencana global ini telah membuat Terawan keder.

Awalnya dia berusaha santai. Cukup dengan jamu temulawak, jahe, kunyit, dan corona bablas angine.

Tapi lambat laun pertahanan Terawan bobol juga.

Media membingkai kegagalan Terawan habis-habisan. Terawan pun ‘hilang’.

Perlahan tapi pasti pemerintah larut dalam permainan global. Awalnya hanya penonton. Belakangan jadi pemain. Ikut meramaikan khasanah per-Covid-tan.

Saat negara lockdown, Indonesia ikut-ikutan lockdown. Cuma diganti istilah saja dengan PSBB. Semi-semi lockdown.

Pokoknya sekedar ikut-ikutan bermain. Asal tidak rugi. Tidak biayai kebutuhan dasar rakyat. Maka, dibuatlah semi lockdown.

Di sinilah permainan yang sebenarnya dimulai.

Akibat larut dalam permainan global, Indonesia menjadi kalang kabut. Sendi-sendi utama negara mobat mabit.

Covid-19 dijadikan alasan untuk menakut-nakuti rakyat. Sementara ada rasa ketidakadilan dalam pelaksaannya.

Pusat perbelanjaan, bandara hingga pelabuhan tetap dibuka. Namun tidak untuk tempat-tempat peribadatan.

Meminjam ciutan Sujiwo Tedjo: Gajah di mall bandara pelabuhan dll tak tampak, virus di tempat ritual peribadatan tampak.

Dalam mimpi itu, permainan global Covid-19 mulai berjalan.

Awalnya masyarakat dipaksa menjalani rapid test. Swab test. Dan tes-tes lain. Ujung-ujungnya rutinitas itu menjadi ladang bisnis.

Masih ingat berita rapid test di Bali. Satu dusun di Banjar Serokadan, Desa Abuan, Bangli sempat diisolasi oleh Pemerintah Provinsi Bali setelah 443 orang dari 1.210 warganya dinyatakan reaktif terhadap rapid test.

Rupanya setelah diuji ulang dengan tes PCR, 275 orang malah dinyatakan negatif. Sisanya saat itu 139 orang masih menunggu jadwal tes.

Alat rapid test bermerek VivaDiag, buatan Tiongkok yang diimpor PT Kirana Jaya Lestari.

Bukankah ini seperti orang sedang berjualan dan promo alat kesehatan dibanding mementingkan keselamatan manusia?

Dan kini, sebuah rumah sakit terpandang bahkan mulai mengendorkan layanan pasien Covid-19. Beralasan penataan internal layanan, tapi dalam surat pemberitahuan menyebutkan tentang pembatasan layanan.

Sementara beberapa rumah sakit memulai membuka tarif layanan rapid test bagi yang membutuhkan untuk kepentingan perjalanan dinas atau pekerjaan. Sekali tes mahal.

Ini masih rapid test. Belum ruang ICU. Belum ruang isolasi dengan ventilator. Dan lain-lain.

Ini belum seberapa. Belum bila nanti WHO mengeluarkan vaksin baru khusus Covid-19. Semua negara pasti berbondong-bondong memborong.

Nah, jangan kaget kalau nanti kita akan kembali dijadikan langganan pandemi. Sebab mereka sudah tahu cara memasarkan vaksin dan obat.

Awalnya membuat kehebohan dulu. Bikin pencitraan. Baru menjual barang dagangan. Laris manis di pasaran.

Dalam suasana kepanikan, protokol new normal mulai dijalankan. Lagi-lagi, negara kembali larut dalam permainan global.

Terlalu gampang patuh, atau barangkali negara takut ‘diasingkan’.

Kesan yang ditangkap publik, protokol new normal ini hanya klise untuk menerapkan herb immunity.

Membiarkan masyarakat terjangkit Covid-19. Setelah itu barang dagangan global dijual bebas.

Kalau pemerintah gemar membolak-balikkan istilah, maka saya lebih suka menyebut new normal dengan istilah lain yakni new world order.

Seorang teman yang mendengar cerita ini langsung tertawa sekaligus mencaci maki. Katanya, cerita Covid-19 dan konspirasi global hanya bualan bodoh.

Saya balas teman begini, kenapa harus marah, ini kan mimpi saya saat tidur. Kalau benar, berarti mimpi itu jadi kenyataan. Dia diam.

Noviyanto Aji
Wartawan RMOLJatim