Hong Kong Konawe

Oleh: Dahlan Iskan


NGAMUKNYA Bu Risma sebenarnya lebih menarik. Tapi belum bisa ditulis di DI’s Way hari ini.

Itu karena Donald Trump juga ngamuk --meski tidak pakai nangis-nangis. Trump kemarin bikin keputusan awal --atas tantangan China. Ini yang lebih saya pilih untuk ditulis. Toh, Walikota Surabaya masih akan ngamuk lagi --kapan saja.

Atau kapok.

Sebenarnya kurang menarik juga keputusan presiden Amerika itu. Se-Rambo-Rambo Trump, ternyata masih Hollywood juga.

Inilah keputusannya: akan mencabut status Hong Kong sebagai partner dagang istimewa.

Apa arti pencabutan status Hong Kong dari partner dagang istimewa itu?

1. Tidak ada lagi keistimewaan tarif.

2. Orang yang berpaspor Hong Kong tidak bisa bebas lagi masuk Amerika. Orang Hong Kong harus urus visa.

3. Tidak bisa punya dwi-kewarganegaraan Hong Kong-Amerika Serikat.

Pokoknya hubungan AS dengan Hong Kong menjadi sama dengan hubungan AS dengan Shanghai atau Guangzhou.

Kalau hanya itu sih apa pedulinya China.

Yang akan paling menderita justru orang Hong Kong sendiri. Terutama lapisan bisnisnya. Pun kelompok profesionalnya.

Tapi China pasti tidak peduli dengan itu. China bisa bersikap: salah rakyat Hong Kong sendiri, mengapa demo besar-besaran sepanjang tahun --yang tujuan akhirnya minta Hong Kong merdeka.

Keputusan Trump lainnya: akan memberi sanksi langsung kepada pejabat-pejabat tinggi China dan Hong Kong.

Mungkin mirip sanksi yang dijatuhkan pada pejabat-pejabat tinggi Iran --yang tidak bisa bepergian ke Amerika. Termasuk, siapa tahu, tidak bisa ke markas PBB yang ada di New York.

Tapi siapa tahu juga PBB sudah ambil pelajaran dari Covid-19: sidang PBB-nya lewat Zoom. Pun siapa tahu penyelenggara Zoom yang ditunjuk adalah Jagaters-nya JTO --mantan anak buah saya yang kini jadi bos penyelenggara webinar yang laris.

Keputusan Trump itu pasti membuat heboh warga Hong Kong. Saya jadi ingat teman saya: orang Surabaya. Ia memilih menjadi warga negara Hong Kong. Katanya: fleksibelnya bukan main. Ia bisa ke Amerika, Inggris, Kanada, Eropa kapan saja. Semaunya.

Kini mereka akan menjadi sama dengan warga negara China. Yang untuk ke negara-negara itu harus mengurus visa --pun tidak tentu bisa dapat.

Pengusaha di Hong Kong benar-benar pusing.

Tapi apa peduli China. Hong Kong --di mata China-- tidak lagi sepenting 30 tahun lalu.

Dulu pelabuhan Hong Kong menjadi andalan transshipment. Baik untuk ekspor maupun impor. Pelabuhan Hong Kong salah satu paling efisien di dunia.

Kini peranan pelabuhan Hong Kong kurang dari 5 persen. Pelabuhan Shenzhen sudah tidak kalah. Apalagi pelabuhan Shanghai. Atau Tianjin. Atau Dalian. Dan masih banyak lagi.

Dulu Hong Kong jadi pintu utama investasi asing ke China. Kini tidak lagi.

Tinggal peran Hong Kong sebagai pusat keuangan yang masih penting. Tapi juga sudah tidak seperti dulu. Apalagi mata uang Renminbi sudah lebih kuat dari dolar Hong Kong.

Kalau sanksi Amerika ”hanya” itu, baiknya China tidak usah membalas. Agar tidak lebih panas. Tetaplah beli hasil bumi Amerika seperti yang dijanjikan.

Lantas apa yang akan dilakukan orang Hong Kong?

Bagi pemegang paspor BNO (warga Inggris di perantauan) bisa pindah ke Inggris. Mereka adalah mantan pegawai pemerintahan kolonial Inggris di Hong Kong.

Bagi yang lain bisa bermigrasi ke Taiwan. Tsai Ing-wen, Presiden Taiwan, sudah memberi jaminan --meski kenyataannya akan ruwet juga.

Atau pindah ke Kanada.

Pilihan lainnya: ke Singapura.

Yang pasti mereka tidak akan ke Konawe atau Morowali