Terungkap, Dokter Sudjarno Ubah Surat Rekomendasi Komite Medik RS Mata Undaan

Surat teguran tertulis yang dijatuhkan dr Sudjarno saat menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Mata Undaan (RSMU) Surabaya ke dr Lidya Nuradianti berbeda dengan rekomendasi komite medik.


Ketua Komite Medik RSMU, dr Sahata Poltak Hamonangan Napitupulu saat bersaksi di Pengadilan Negeri Surabaya membenarkan telah memberikan rekomendasi kepada terdakwa atas pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) dan Disiplin yang dilakukan dr Lidya Nuradianti (saksi pelapor).

Namun oleh terdakwa, rekomendasi dari tim komite medik dirubah dengan menyebut dr Lidya Nuradianti melakukan pelanggaran prosedur kerja serta etika dan profesi.

"Rekomendasinya melanggar SOP dan Disiplin.Kalau itu dirubah saya tidak tau, itu kewenangan Direktur," terangnya dikutip Kantor Berita RMOLJatim saat bersaksi di ruang sidang Sari 2 Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (2/6).

Menurutnya, dasar rekomendasi yang diberikan tersebut bermula dari komplain pasien bernama Alesandra Sesha yang tidak terima karena tindakan operasi bukan dilakukan oleh dr Lidya melainkan oleh perawat bernama Angga Surya Arsana.

"Rekomendasi diberikan setelah melakukan klarifikasi," ujarnya.

Sementara itu saksi Lidya Nuradianti mengaku sangat dirugikan. Surat teguran itu berdampak pada citranya sebagai dokter mata, terlebih Ia dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik kedokteran oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) Surabaya.

"Surat teguran itu baru dicabut saat adanya laporan ke Polisi," ungkapnya. 

Saat ditanya oleh tim penasehat hukum terdakwa dr Sudjarno terkait adanya upaya banding atas putusan MKEK IDI Surabaya ke Pusat, Lidya mengaku tidak tau.

"Saya tidak tau, tapi memang ada klarifikasi dari pusat atas laporan Direktur," katanya.

Selain dr Sahata Poltak Hamonangan Napitupulu dan saksi pelapor, JPU Kejari Tanjung Perak I Gede Willy Pramana dan Yusuf Akbar menghadirkan Wadir Pelayanan RSMU, dr Ria Silvia dan Perawat Angga Surya Arsana yang intinya membenarkan adanya komplain dari pasien.

Atas komplain tersebut, RSMU mengaku telah memberikan uang damai sebesar Rp 400 juta agar tidak melakukan tuntutan hukum.

"Saya tidak tau jumlahnya," kata saksi Ria Silvia menjawab pertanyaan tim penasehat hukum terdakwa.

Keterangan Ria sempat dipertanyakan  ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana, Namun Ria tetap mempertahankan keterangannya.

"Anda sebagai Wakil Direktur Pelayanan lho, masak tidak tau uang itu untuk apa, uang damai kah atau mengganti kerugian," tanya hakim Cokorda.

"Saya tidak tau karena tidak dilibatkan," jawab Ria.

Sedangkan sang perawat, Angga Surya Arsana mengaku jika operasi ke pasien Alesandra Sesha dilakukan karena ada mandat dari dr Lidya.

"Karena dr Lidya sedang melakukan operasi pasien lainya," ungkapnya.

Persidangan perkara ini akan dilanjutkan satu pekan mendatang dengan agenda masih mendengarkan keterangan saksi lainnya. 

"Sebenarnya tadi kami mau menghadirkan saksi Alesandra Sesha melalui telekonferensi karena beliau tinggal di Jakarta tapi majelis hakim meminta empat saksi saja yang diperiksa," terangnya saat dikonfirmasi usai persidangan. 

Terpisah, Soemarso penasehat hukum terdakwa mengaku jika putusan MKEK IDI Surabaya yang menyatakan dr Lidya Nuradianti tidak terbukti melanggar etika profesi belum final lantaran masih melakukan banding ke MKEK IDI Pusat.

"Jadi tidak bisa dijadikan dasar bahwa terdakwa ini salah. Tadi itu saya kejar dalam persidangan," terangnya saat dikonfirmasi usai persidangan.

Saat ditanya terkait pembayaran uang Rp 400 juta ke pasien Alesandra Sesha, Soemarso mengaku jika pembayaran tersebut sebagai bentuk tanggung jawab Rumah Sakit.

"Tujuannya supaya nggak berlarut-larut karena mau ada tuntutan hukum dan oleh bidang hukum disini dibantu untuk melakukan mediasi. Dan ini sebenarnya membantu dokter atas tindakan pada pasien," tandasnya.

Diketahui, Kasus dugaan fitnah ini dilaporkan oleh dr Lidya Nuradianti ke Polrestabes Surabaya. Dia tidak terima lantaran dituduh telah melanggar kode etik dan profesi kedokteran melalui surat teguran tertulis yang dibuat oleh terdakwa saat menjatuhkan sanksi.

Tuduhan tersebut dianggap saksi pelapor tidak berdasar, karena saat sanksi dijatuhkan, Lidya merasa tidak pernah melakukan pelanggaran etika dan profesi dan diperkuat oleh putusan 

keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Nomor : 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 Tanggal 20 Agustus 2018.

Dalam kasus ini, terdakwa didakwa melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP dan pasal 311 ayat (1) KUHP.