Lintas Profesi Bahas Bung Karno Di Diskusi Daring PDIP Surabaya

Diskusi daring yang digelar DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya bertema ”Bung Karno Kelahiran Surabaya dan Gagasan To Build the World Anew”, Sabtu malam (6/6/), berlangsung semarak. Bertepatan dengan hari kelahiran Sukarno, diskusi itu diikuti hampir 107 orang dari berbagai profesi dan domisili, mulai Surabaya, Aceh, Jakarta, Perancis, hingga Belanda.


Diskusi menghadirkan pembicara Prof Dr Darwis Khudori (Sejarawan, Dosen, Universitas Le Havre Normandy, Perancis) dan Adrian Perkasa, MA (dosen Ilmu Sejarah Unair, kandidat doktor Universitas Leiden, Belanda). Sejumlah tokoh tampak bergabung, seperti sejarawan Asvi Warman Adam yang dikenal sebagai profesor riset sejarah politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta tokoh senior Kepala Balitbang  DPP PDI Perjuangan, Ir. Heri Akhmadi.

Ada pula Ketua DPC PDIP Surabaya Adi Sutarwijono. Selain itu, tampak hadir para pegiat sejarah, aktivis kebudayaan, seniman, komunitas muda, hingga dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Diskusi dimoderatori Sekretaris PDIP Surabaya Baktiono. Prof Darwis mengawali paparannya tentang kiprah Bung Karno dalam tataran internasional.

Gagasan Sukarno muda tentang kemerdekaan tidak terlepas dari konstelasi politik internasional ketika itu, di mana gagasan-gagasan anti-imperialisme di berbagai penjuru dunia yang begitu bergelora. Pidato pembelaan ”Indonesia Menggugat” yang ditulis dan dibacakan Bung Karno pada persidangan tahun 1930 menjadi bukti nyata pandangan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang dimiliki Sukarno.

Pidato itu menggugat praktik imperialisme dan kolonialisme yang merusak negeri jajahan, termasuk Indonesia. Milestone terpenting Sukarno lainnya adalah 1 Juni 1945 ketika Sukarno membacakan rumusan dasar negara Pancasila di sidang BPUPK.

Lalu, lanjut Prof Darwis, Bung Karno mempelolopori Konferensi Asia Afrika 1955 yang menjadi tonggak semakin kuatnya pengaruh Sukarno di dunia internasional. KAA itulah yang merupakan pintu Bung Karno dalam pergerakan semangat nasionalisme Asia dan Afrika, sekaligus awal dari pembentukan Gerakan Non-Blok. Prof Darwis melanjutkan, tentu saja kiprah terpenting Sukarno yang paling mengguncang dunia internasional adalah pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB ke-15 pada 30 September 1960 yang berjudul ”To Build the World Anew” (Membangun Dunia Kembali).

Pidato itu antara lain dilaatarbelakangi pertemuan 4 negara besar sebelumnya yang gagal mencapai kesepakatan untuk pengurangan senjata nuklir. Sehingga Bung Karno menawarkan sebuah tatanan dunia baru.

Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan, kini, pidato Bung Karno itu dalam proses untuk diajukan sebagai Memori Dunia (Memory of the World) ke UNESCO.

”Pidato Bung Karno di Sidang Majelis Umum PBB yang sangat terkenal itu adalah akumulasi dari pemikiran dan gagasan sejak sebelum Indonesia merdeka,” kata Asvi.

Diskusi makin seru dengan pembahasan kaitan Sukarno dan Surabaya yang dibawakan dosen sejarah Unair dan kandidat doktor Universitas Leiden, Adrian Perkasa. Adrian mengatakan, memang sempat ada perbedaan pendapat apakah Sukarno lahir di Blitar atau Surabaya. Namun, berbagai bukti otentik menyebutkan Bung Karno memang arek Suroboyo.

Lahir di Surabaya, yaitu di Kampung Pandean Gang 4, Kecamatan Genteng. Dia mencontohkan sejumlah buku yang ditulis jauh sebelum Indonesia merdeka, yang juga telah menyebut Sukarno lahir di Surabaya. Misalnya buku Im Yang Tjoe pada 1933 berjudul ”Soekarno Sebagi Manoesia”. Buku itu terbit tiga puluh tahun sebelum biografi tentang Bung Karno yang paling terkenal,

”Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, yang ditulis Cindy Adams.

”Biografi pertama Bung Karno karya Im Yang Tjoe ditulis sebelum Indonesia lahir, jauh sebelum Bung Karno menjadi presiden, dia telah menarik minat kalangan penulis,” jelas Adrian.

Kaitan Bung Karno dan Surabaya bukan hanya terekam di masa remaja sang proklamator yang dihabiskan dengan bersekolah di HBS, yang kini menjadi bangunan Kantor Pos Besar, tak jauh dari Tugu Pahlawan Surabaya. Adrian menyebut salah satu momen penting Sukarno dan Surabaya adalah tampilnya presiden pertama di Indonesia itu dalam Kongres Indonesia Raya pada akhir 1931, hanya hitungan hari usai Bung Karno keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung. Itu merupakan peristiwa pertama yang dihadiri Sukarno sejak keluar dari penjara. Kongres Indonesia Raya digerakkan oleh tokoh pergerakan Dr Sutomo.

”Waktu itu momennya benar-benar krusial dan sangat berani. Bayangkan, Sukarno baru saja lepas dari tahanan politik, langsung tampil di Surabaya, membakar semangat arek-arek Suroboyo,” ujarnya.

Tiba di Stasiun Gubeng, Sukarno disambut rakyat Surabaya. Para pemuda, buruh, aktivis, dan rakyat jelata riuh menyambut Bung Karno. Menuju ke hotel di kawasan Peneleh hingga istirahat di sana pun, Bung Karno selalu dikerubungi massa. Sukarno ketika itu bicara tentang pentingnya persatuan melawan imperialisme Belanda. Dalam sebuah referensi disebutkan, Sukarno menutup pidatonya dengan mata yang berlinang.

”Maka tak mengherankan Bung Karno menyebut Surabaya sebagai dapur nasionalisme, dapur Revolusi Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka, rakyat Surabaya ketika itu sudah berapi-api membayangkan nasionalisme Indonesia, bukan lagi nasionalisme Jawa, nasionalisme Minang,” ujarnya.

Kisah-kisah unik Sukarno dan Surabaya, lanjut Adrian, juga tecermin misalnya terkait perseteruan Bung Karno dengan Hubertus Johannes van Mook. Van Mook adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda terakhir yang menjabat setelah Jepang menguasai Hindia Belanda pada 1942.

”Van Mook adalah musuh utama Bung Karno. Uniknya, Van Mook bersekolah di tempat yang sama dengan Bung Karno, yaitu di Hogere Burger School (HBS) Surabaya,” kata Adrian.