Surya Dadari

BAGONG NJAMBAL (21)


BASUDEWA Kresna dan Bagong meninggalkan Istana Ngamarta. Berjalan menyusuri jagat sejengkal demi sejengkal. Tujuannya mencari seseorang bernama Surya Dadari.

Sesekali Kresna merambah dirgantara. Kemudian turun lagi.

Hal ini membuat Bagong kesal. Sebab dia sering ditinggal lama-lama.

“Sinuwun, kita sudah sepakat berjalan sama-sama. Tapi aku sering ditinggal,” kesal Bagong. 

“Husst, Bagong. Aku terbang karena ingin melihat keadaan sekeliling. Siapa tahu ada orang yang bisa kita temui,” jawab Kresna.

Setelah berjalan lama, sampailah mereka di tengah hutan. Suasananya mencekam. Angker. Banyak dihuni demit dan jin. Namun tidak membuat keduanya keder.

Kresna dan Bagong terus berjalan. Lama sekali. Siang berganti malam, malam berganti siang.

Tak lama, keduanya melihat sebuah kerajaan. Prajuritnya hanya segelintir. Lokasinya berada di tengah hutan.

Kresna dan Bagong tiba di pintu gerbang. Keduanya disambut ramah oleh penjaga gerbang.

“Sudah ditunggu Prabu Surya Dadari,” sambutnya.

“Ladalah elok benar. Kedatangan kita sudah ditunggu,” sahut Kresna.

Di dalam istana terlihat kursi raja kosong. Tidak ada penunggunya. Yang terlihat hanya lelaki berparas tampan. Pakaiannya biasa. Tidak ada mahkota. Rambutnya terurai panjang.

Dia duduk di pendopo istana sembari menyulut sebatang rokok.

“Maaf, kisanak. Kami mau bertemu Prabu Surya Dadari,” sapa Kresna.

Lelaki itu menoleh sebentar. Menatap keduanya dari ujung rambut hingga mata kaki. Lalu memalingkan muka. Kembali menikmati rokoknya yang belum habis.

Kresna dan Bagong dibuat heran. Kerajaan sebesar itu sepi penghuni. Penjaganya sedikit. Pun dampar kerajaan kosong. Tidak ada raja. Tidak ada punggawa. Tidak ada permaisuri. Yang lebih mengherankan, orang-orang di sekitarnya acuh tak acuh.

Lelaki tampan tadi kemudian bangkit dan menyapa kedua tamu tersebut.

“Kenapa lama sekali baru sampai,” jawabnya singkat.

Dia berjalan lambat agar tamunya mengikuti langkahnya. Setiba di kursi raja, lelaki itu duduk.

“Aku Surya Dadari atau dikenal Badrakusuma atau Handipaningal,” katanya.

Barulah Kresna dan Bagong paham bahwa lelaki tersebut adalah seorang ratu yang selama ini dicari.

“Sinuwun, tujuanku ke sini untuk mencari Prabu Surya Dadari,” Kresna membuka obrolan.

“Eh, Prabu Kresna, aku sudah tahu maksud kedatanganmu kemari,” sahut Prabu Surya Dadari.

“Oala, sudah tahu sebelum winarah, elok bener,” Bagong menyahuti.

“Itu suara siapa, kok ada suara tidak ada orangnya?” Tanya Sang Prabu.

“Oh, ratu pekok,” umpat Bagong.

“Husst, Bagong jangan sembarang ngomong. Ini ratu sakti. Ampun sinuwun, yang bersamaku ini adalah abdiku, Bagong,” jawab Kresna.

“Bagong anaknya Semar!” Balasnya.

“Lha gitu tahu,” njambal Bagong.

Karena Surya Dadari sudah tahu maksud kedatangan tamunya, maka Prabu Dwarawati tidak banyak bercerita. Dia langsung meminta bantuan Surya Dadari untuk melawan Ratu Kembar.  

“Langsung saja, saya kemari untuk minta bantuan Prabu Surya Dadari melawan Ratu Kembar,” pintanya.

“Memang benar Prabu Kresna. Sekarang ini jagat sedang menerima pacoban. Tidak tentramnya jagat karena dipupuk angkara murka. Sing becik dadi ala, sing bener dadi luput, sing jejeg dadi bengkong. Kondisi ini tidak hanya dialami para Pandawa. Tapi semua nailendra, ksatria, resi, begawan hingga pandhita hilang kewarasannya,” terang Surya Dadari.

“Keadaan ini menjadi cobaan bagi jiwa-jiwa manusia. Kalau Kresna menjadi pamomong, maka harus menjadi tentramnya jagat. Kehadiran Ratu Kembar telah merusak sendi-sendi kehidupan manusia,” ujarnya.

Dikatakan Surya Dadari, Ratu Kembar ini adalah keturunan jawata (dewa). Mereka turun ke bumi menjadi titah (manusia). Selama di bumi mereka bersembunyi di balik kekuasaan orang- ratu-ratu angkuh. Termasuk berada di belakang Ratu Lojitengara dan Ratu Ngastina.

“Selama Ratu Kembar menjadi titah, tugas mereka cuma menghasut dan memupuk angkara murka. Begitu mereka punya gelar Prabu Dewantogo dan Dewasoro, atau saat diangkat menjadi ratu, kekuasaannya semakin tidak terbatas. Seluruh dunia dibuat morat marit. Pagebluk menjadi sarana untuk menghasut. Dunia tidak tentram. Begitu dunia panik, yang muncul adalah ketakutan. Dari ketakutan itu keyakinan manusia menjadi goyah. Akhirnya sirnalah kewarasan. Sirna akal sehat. Sirna rasa kemanusiaannya,” lanjut Surya Dadari.  

Bahkan menurut Surya Dadari, tidak menutup kemungkinan Ratu Ngamarta sudah masuk dalam perangkapnya. Hanya saja tidak banyak orang yang sadar. Sebab kesadaran mereka sudah diambil Ratu Kembar.  

“Hah, Prabu Puntadewa jadi gila!” Bagong terkejut.

“Bukan gila, Bagong. Melainkan hilang akal warasnya. Hilang kamanungsannya. Tidak bisa bedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia-manusia berwatak candala menjadikan pagebluk untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Uang rakyat digarong habis-habisan. Dasarnya itu, pagebluk. Semua dipaksa manunggal. Harus manut titah penguasa. Rakyat dibuat tunduk dan takut. Para pejabat membuat aturan seenaknya. Mencuri uang negara dengan alasan pagebluk tapi sama sekali tidak dikenai pidana atas kebijakan yang dibuatnya.”

“Rakyat yang mencoba kritis ditangkap. Dihabisi. Dibungkam. Dimasukkan pakunjaran. Paham-paham asing yang dulu ditentang negara dimasukkan dalam satu aturan. Dari panca menjadi tri hingga eka. Eka berarti satu. Artinya satu kekuasaan tunggal. Manusia dipaksa manembah pada titah bukan pada Sing Makarya Jagat. Pandawa lima yang menjadi pondasi negara rusak. Jamus kalimasada yang menjadi pegangan titah hilang bekasnya.”

“Apa sebegitu gawatnya sinuwun?” Tanya Bagong.

“Memang begitu keadaannya, Bagong. Ini seperti kiamat. Wanita yang mau melahirkan dibuat takut. Akhirnya jabang bayi mereka menolak dilahirkan. Jabang bayi pilih mati di dalam perut ibunya daripada keluar ke jagat. Aparat penegak hukum menjadi tangan besi. Yang salah diputus ringan. Dibilang ‘tidak sengaja’ berbuat salah. Padahal ini cuma dagelan. Yang benar diputus seberat-beratnya. Tempat-tempat peribadatan sepi. Yang nekat pergi beribadah dianggap membawa pagebluk. Karena itu beribadah harus diatur. Dibuat bergiliran. Dibuat terpisah-pisah. Berjarak. Manembah pada Sing Makarya Jagat tidak bebas seperti dulu lagi. Tuhan jadi budaya, Tuhan jadi tradisi.”

“Tidak hanya itu, orang-orang kini diarahkan untuk saling curiga satu sama lain. Hubungan antar kamanungsan renggang. Tali silaturahmi diputus. Silaturahmi haram hukumnya. Yang bertamu takut bertamu, sebab tuan rumah selalu mencurigai tamunya membawa pagebluk. Orang-orang juga takut pergi berobat. Sekali berobat langsung dianggap pembawa pagebluk. Langsung dipakunjaran. Diisolasi. Pagebluknya diurusi, sakitnya tidak diurusi. Akibatnya banyak yang mati karena sakitnya tidak diurusi. Sebaliknya kematian mereka dianggap karena pagebluk. Jagat sungsang bawana balik (Alam semesta terjungkir balik).”

“Prabu Surya Dadari, sebelumnya aku telah menugaskan Pandawa dan anak-anaknya melawan Ratu Kembar. Apakah mereka berhasil?”

“Ketahuilah Prabu Narayana, Pandawa dan anak-anaknya saat ini tidak bisa mengalahkan Ratu Kembar. Mereka kocar kacir. Kesaktian Ratu Kembar ngidap-ngidapi. Senjata apapun tidak sanggup melawan. Bahkan senjata kadewatan tidak mempan,” kata Surya Dadari.

“Terus bagaimana keadaan Pandawa?” Tanya Kresna.

“Sepeninggal kalian dari Ngamarta, mereka saling menyalahkan satu sama lain. Anak-anak Pandawa mulai berani melawan orang tua. Tidak lagi punya unggah ungguh. Yang muda tidak menghormati yang tua. Sedangkan yang tua tidak menganggap punya anak. Pandawa sudah keluar dari garis. Kebenaran diputarbalikkan. Pandawa meninggalkan negara Ngamarta dan berbaur dengan keangkaramurkaan. Prabu Puntadewa berubah wujud menjadi raksasa sebesar gunung dan mengamuk merusak alam mayapada dan suralaya. Pandawa ikut-kutan menciptakan kepanikan. Prabu Welgeduwelbeh menjadi temannya, Ratu Ngastina menjadi karibnya. Pandawa, Ngastina dan Lojitengara bersatu. Yang dilawan rakyat. Yang didzalimi rakyat,” tutur Surya Dadari.

Jagat dewa batara, bagaimana ini bisa terjadi?” Prabu Kresna mengelus dada.   

“Semua akibat hasut Ratu Kembar. Mereka memang ditugasi menggeser kiblat manusia. Supaya jagat kobong. Bubar mawut. Semua manusia berubah menjadi watak budi candala.”

“Siapa yang mengutus Ratu Kembar?”

“Ratu Kembar bergelar Prabu Dewantogo dan Prabu Dewasoro adalah utusan Betari Durga.

Padahal sebelum diangkat menjadi Ratu Kembar, kadigdayaan Betari Durga tidak ada apa-apanya. Sebab mereka sebelumnya mereka memang jelmaan dewa. Tapi begitu Betari Durga berhasil merayu mereka dan menjadikan Ratu Kembar, akhirnya kedigdayaan mereka makin tidak terbatas. Sakti kalintang jayane perang. Tidak ada yang mampu menandingi.”

“Bagaimana cara mengalahkannya?”

“Aku diutus Sang Hyang Betara Wenang turun ke jagat. Karena itu aku yang akan melawan Ratu Kembar tadi,” tegas Prabu Surya Dadari.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim