Rapid Test Jadi Ladang Bisnis Tidak Berperikemanusiaan, Pengamat: Negara Lepas Tangan!

Sejumlah warga mulai melakukan penolakan atas kewajiban rapid test yang hanya dimanfaatkan sejumlah rumah sakit sebagai ladang bisnis ketimbang mementingkan urusan kemanusiaan.


Bahkan di Surabaya, beberapa warga menggugat ke Mahkamah Agung (MA) atas penerbitan Surat Edaran 9/2020 yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tentang kewajiban rapid test bagi penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat, kereta api, maupun kapal laut selama masa pandemik Covid-19.

Menanggapi hal ini, pemerhati sosial dan politik Anis Sadah menilai kewajiban rapid test merupakan bentuk ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi warganya.

“Setelah Presiden Jokowi menyatakan Covid-19 adalah bencana kesehatan, seharusnya fokus layanannya ditanggung negara. Tapi yang terjadi, untuk urusan rapid test dan swab test negara justru lepas tangan,” terang Anis pada Kantor Berita RMOLJatim, Kamis (7/2).

Akibat kebijakan pemerintah yang tidak tegas, banyak pihak yang kemudian memanfaatkan rapid test untuk mengeruk keuntungan semata.

“Tidak hanya sopir dan penumpang yang keberatan. Ibu-ibu yang mau melahirkan juga keberatan dengan rapid test, apalagi hal ini tidak dicover BPJS,” ujarnya.

Anis menyebut, biaya rapid test maupun swab test Covid-19 yang cukup mahal diterapkan sejumlah rumah sakit merupakan sesuatu yang tidak berperikemanusiaan.

“Ada upaya mengambil keuntungan dari kekhawatiran masyarakat atas Covid-19, ini tidak berperikemanusiaan,” tuturnya.

Ombudsman RI sebelumnya melaporkan temuannya, untuk sekali rapid test saja, pasien harus membayar Rp300.000 hingga Rp1 juta per orang. Padahal biaya normal rapid test berkisar Rp75.000.

“Pihak rumah sakit swasta maupun pemerintah bermain. Mereka jelas-jelas memakai sistem hukum ekonomi dimana di situ ada kebutuhan juga ada keuntungan yang didapatkan,” tutup Anis.