Dana Desa Menjadi BLT dan JPS, Kjam: Sudah Efektif Malah Dikorbankan

Kelompok Kajian Jumat Malam (Kjam) kecewa dengan penggeseran anggaran (refocusing) dana desa menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada penanganan Covid-19.


Demikianlah salah satu kesimpulan diskusi forum Kjam bertema “Strategi Bangkitkan Desa dan Komunitas Warga Pasca Pagebluk” beberapa waktu lalu.

Masnun, salah satu pegiat forum Kjam mengatakan, selama ini dana desa telah terbukti berhasil menggerakkan ekonomi desa.

"Daripada menyuntikkan dana triliunan rupiah pada BUMN kenapa dana itu tidak dipakai untuk BLT dan JPS, bukan dana desa yang sudah efektif selama ini dikorbankan," ujarnya dikutip Kantor Berita RMOLJatim.

Sebelumnya, pemerintah menyuntikkan dana Rp 52,57 triliun kepada 12 BUMN sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional.

Sementara di sisi lain pemerintah melakukan refocusing Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) tahun 2020 yang sebelumnya tidak diperuntukkan untuk penanganan Covid-19 diubah aturan penggunaannya sehingga dapat digunakan untuk penanganan Covid-19.

Hal ini juga diamini Arie Sujito, dosen sosiologi UGM yang diundang menjadi pemantik diskusi.

"Ini sebenarnya adalah masalah pengelolaan keuangan negara, kesalahan administrasi keuangan menyebabkan alokasi untuk desa berubah," ungkap Arie.

Arie mengungkapkan, desa harus ditempatkan sebagai subyek dan itu sudah dimulai sejak adanya UU no 6 tahun 2014 tentang desa sebagai antitesis desa menurut pemerintahan orde baru dan sebagai koreksi semangat reformasi tahap awal yang menempatkan kabupaten/kota sebagai subyek.

Menurutnya, desa sebelum adanya UU ini dalam kondisi dieksploitasi dan dimarjinalisasi sehingga desa harus dipulihkan. Desa harus diakui (direkognisi), diberi kewenangan (otorisasi) merencanakan, mengeksekusi, menganalisis kegiatan serta diberikan distribusi dalam bentuk dana desa yang pada awalnya untuk infrastruktur lalu berkembang untuk pemberdayaan.

“Sejak UU no 6 ini diimplementasikan berdasarkan evaluasi yang ada sudah berjalan dengan baik. Namun, refocusing dana desa membuat program yang ada menjadi mandeg,” katanya.

Dengan demikian, hal tersebut pun menimbulkan kebingungan bagi warga desa. Terutama mengenai posisi kebijakan yang sebelumnya diharapkan dapat melibatkan banyak tenaga kerja di desa. Dia menyatakan, ketidakjelasan ini menjadi tantangan bagi desa menghadapi kondisi paska pagebluk.

Arie menegaskan, strategi untuk bangkitkan desa paska pagebluk dimulai dari identifikasi isu-isu yang berkembang di desa, perkuat semangat komunal dengan melibatkan tokoh-tokoh setempat, melakukan kerja kolektif, dan optimalkan sumber daya desa.

"Desa harus menjadi tempat bersemainya kedaulatan rakyat," pungkas Arie.