Jejak Keramat Empat Pusaka Ngawi, Begini Ceritanya

Tanggal 7 Juli selalu menjadi momen penting bagi Kabupaten Ngawi. Pada tanggal itu dikenang sebagai titik waktu awal berdirinya Kabupaten Ngawi sesuai masanya.


Seperti hasil penelusuran Soehardjo Hatmosoeprobo tentang Piagam Sultan Hamengku Buwono tanggal 2 Jumadilawal 1756 Aj, selanjutkan menetapkan bahwa pada tanggal 10 Nopember 1828 M, Ngawi ditetapkan sebagai daerah Narawita (pelungguh) Bupati Wedono Monco Negoro Wetan.

Peristiwa tersebut merupakan bagian dari perjalanan sejarah Ngawi pada zaman kekuasaan Sultan Hamengku Buwono era Mataram.

Menerima hasil penelitian MM. Soekarto K. Atmodjo tentang Prasasti Canggu tahun 1280 Saka pada masa pemerintahan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk. Selanjutmya menetapkan bahwa pada tanggal 7 Juli 1358 M, Ngawi ditetapkan sebagai Naditirapradesa (daerah penambangan) dan daerah swatantra.

Peristiwa tersebut merupakan Hari Jadi Ngawi sepanjang tahun hingga sekarang ini yang terus dikenang.

Melihat bagian dari peringatan HUT Kabupaten Ngawi pasti ada satu kegiatan yang cukup disakralkan. Yakni, jamasan pusaka sebagai piandelnya Kabupaten Ngawi yang sangat dikeramatkan.

Acara ritual budaya jamasan pusaka ini meliputi dua buah tombak antara lain Kyai Singkir dan Kyai Songgolangit serta dua payung yakni Tunggul Wulung dan Tunggul Warono.

Pihak penjamas atau juru cuci pusaka itu pun bukan sembarang orang. Dan sudah biasa dilakukan oleh Ki Suharno Ilham, sesepuh warga masyarakat Kabupaten Ngawi.

Kekeramatan empat pusaka milik Kabupaten Ngawi itu tidak bisa dilepaskan dengan wilayah Alas Srigati bagian dari Alas Ketonggo masuk Desa Babadan, Kecamatan Paron, Ngawi.

Bupati Ngawi Budi Sulistyono membenarkan jika empat pusaka terdiri dua tombak baik Kyai Singkir, Kyai Songgolangit maupun payung Tunggul Wulung dan Tunggul Warono sangat erat kaitanya dengan Alas Srigati.

Meski tidak ada catatan resmi tentang asal muasal ke empat pusaka itu, akan tetapi Kanang sapaan akrab Budi Sulistyono mengatakan pusaka-pusaka keramat tersebut tidak lepas dari peran Sudarno HP Bupati Ngawi era kepemimpinan 1988-1993 dengan Prof Somodarmodjo (alm) selaku Kepala Desa (Kades) Desa Babadan era orde baru.

"Kalau pastinya saya sendiri kurang begitu paham. Akan tetapi ada benarnya kalau pusaka-pusaka itu dari Alas Srigati sana," terang Kanang dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Selasa, (7/7).

Sementara Joko Setiyono, selaku tokoh masyarakat Desa Babadan menuturkan, Bupati Ngawi di masa Sudarno HP bersama Ki Suharno Ilham saat itu meminta kepada Prof Somodarmodjo selaku Kades Babadan untuk dicarikan suatu pusaka piandelnya Kabupaten Ngawi.

Secara singkat, melalui meditasi dan ritual panjang di Alas Srigati, Prof Somodarmodjo memperoleh ke empat pusaka sesuai yang dipesan.

"Dulu ceritanya pusaka itu milik para Adipati Ngawi tapi kemudian raib atau muksa bersama meninggalnya para Adipati. Kemudian Bupati Ngawi masa Pak Sudarno meminta ke Mbah Somo (Prof Somodarmodjo) untuk dicarikan pusaka yang muksa itu. Kemudian berhasil ditemukan lagi," beber Joko Setiyono.

Joko mengupas, hingga sekarang ini setiap agenda tabur bunga terhadap makam para Adipati maupun Bupati Ngawi jelang HUT Kabupaten Ngawi, makam Prof Somodarmodjo di TPU Sasono Mulyo Desa Babadan selalu dilakukan acara serupa oleh Bupati Ngawi.

Adapun gelar profesor yang disandang Somodarmodjo diberikan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta di masa rektor Ibnu Sutowo. Tentunya gelar itu diberikan sebagai apresiasi atas jasa dan peran Somodarmodjo yang terkait langsung dengan Kabupaten Ngawi.