Kunci Keberhasilan Budidaya Udang Dari Kualitas Air

Salah satu kunci keberhasilan budidaya udang tergantung dari kualitas air tambak. Hal ini mampu menurunkan biaya produksi.


Dikatakan Peneliti Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Yustian Rovi Alfiansah, pengaturan kualitas air tambak dan dinamika komunitas bakteri mampu menghindarkan kegagalan budidaya udang.

"Kami menginvestigasi kualitas air dan komunitas bakteri dari sampel air tambak pada dua sistem budidaya udang yaitu sistem semi intensif dan intensif. Pada kedua sistem ini, petambak tidak melakukan pergantian air tambak pada saat pemeliharaan udang berlangsung hingga akhir siklus panen," ujar Yustian dikutip dari Kantor Berita RMOLJateng, Senin (6/7).

Dalam penelitian itu, lanjut dia, menemukan beragam bakteri heterotrofik halofilik (bakteri yang mampu hidup pada salinitas air laut) di air tambak. Ini merupakan bakteri menguntungkan dalam proses budidaya udang.

Yustian melakukan penelitian penelitian di Rembang, tercatat sebagai salah satu sentra penghasil udang di Provinsi Jawa Tengah.

Sedangkan, penyakit udang (berak putih) terjadi di kedua sistem, bersamaan dengan penurunan pH atau derajat keasaman dan perubahan komunitas bakteri yang dominan. Meski begitu, penyakit berak putih berhenti saat pH dinaikkan hingga ambang di atas delapan.

"Kami menyarankan untuk menambahkan kapur (misalnya kapur pertanian), membuang lumpur secara berkala ke petak/ kolam pengumpul lumpur dan menambahkan air laut yang telah diproses (diklorinasi) untuk menjaga kualitas air, khususnya pH dan salinitas. Kami juga menganjurkan penambahan molase (tetes tebu) ke tambak untuk meningkatkan keberadaan pakan alami dan untuk menjaga struktur komunitas bakteri yang menguntungkan," ungkap alumnus Universitas Diponegoro Semarang tersebut.

Yustian melanjutkan, budidaya udang seringkali menghadapi masalah terkait penurunan kualitas air dan penyakit, yang disebabkan oleh bakteri. Solusinya adalah petambak melakukan penggantian air tambak dengan air laut dan menambahkan probiotik secara rutin.

Di sisi lain, lanjut peneliti dari Rembang ini, usaha-usaha tersebut mengakibatkan biaya operasional yang tinggi.

"Pemerintah daerah hendaknya menyediakan insentif bagi usaha kecil dan menengah (UKM) misalnya dengan memberikan subsidi untuk listrik dan melakukan pengecekan kualitas air khususnya keberadaan patogen secara berkala," tutup peneliti LIPI yang sedang menempuh program postdoktoral di the Alfred Wegener Institute Bremerhaven di Jerman.