Manusia Perahu Asal Bangladesh Terus Banjiri Aceh, Bukan Pengungsi Rohingnya

Manusia perahu dari Bangladesh diperkirakan akan terus membanjiri Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Usut punya usut, rupanya para pengungsi tersebut bukan berasal dari Provinsi Rakhine, Myanmar.


Demikian kata Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Iza Fadri dilansir dari Kantor Berita RMOLAceh, Senin (6/7).

“Setelah kami cek, usai mendapat kabar tentang keberadaan orang Rohingnya di Aceh, otoritas Myanmar memastikan tidak ada orang Rohingya yang mengungsi keluar negara itu. Kemungkinan besar mereka datang dari Cox’s Bazar, Bangladesh,” kata Iza.

Menurut Iza, kondisi ini didorong oleh keinginan orang Rohingya yang menetap di kawasan itu untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Menurut Iza, kamp-kamp di pengungsian Cox’s Bazar terlalu padat.

Saat ini, kata Iza, kawasan itu dihuni oleh hampir 1 juta orang. Mereka yang mencari kehidupan lebih baik akan mencoba keluar dari negara itu.

Myanmar mengategorikan warga Rohingya ke dalam dua golongan. Pertama adalah Rohingya yang datang bersama pasukan Inggris saat kerajaan itu menjajah Myanmar.

Golongan pertama ini membaur lama dengan masyarakat Myanmar. Mereka, kata Iza, juga fasih berbahasa Myanmar.

Golongan kedua adalah para pengungsi musiman yang masuk memanfaatkan celah di perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar yang mencapai 196 mil atau sekitar 312 kilometer.

Mereka, kata Iza, tidak bisa berbahasa Myanmar. Golongan kedua ini, kini, menempati kamp pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh.

Iza mengatakan permasalahan ini adalah cerita berulang. Tahun 1970-an, sekitar 200 ribu pendatang didorong balik ke Bangladesh.

Hal sama juga berulang pada 1990-an. Dan terakhir adalah di era 2000-an.

Melihat sejarah itu, kata Iza, sebenarnya tidak ada sentimen agama. Namun karena perkembangan politik di Bangladesh, hal ini dianggap sebagai permasalahan agama.

Menurut Iza, saat ini terjadi konflik antara etnik Arakan dan tentara Myanmar di Rakhine.

Penduduk Arakan, kata dia, menuntut otonomi lebih luas. Mereka melakukan ini dengan mengangkat senjata.

Jumlah tentara perlawanan, kata Iza, mengutip keterangan dari otoritas militer Myanmar, mencapai 20 ribu tentara.

Hal ini, kata Iza, mendorong rezim di Myanmar mematikan jaringan internet. Beberapa hari lalu, kata dia, pemerintah juga menutup kota-kota tertentu di provinsi itu.

Akibatnya, masyarakat memilih mengungsi untuk menghindari pertempuran akibat operasi militer yang dilakukan militer Myanmar.

Iza mengatakan, seharusnya pengungsi Rohingya ini ditampung oleh negara-negara yang lebih makmur.

Namun dalam perjalanan ke negara itu, kapal mereka didorong menjauh oleh otoritas negara tujuan dan terdampar di perairan Indonesia.

Iza memahami keinginan masyarakat yang ingin membantu para pengungsi.

Hal ini, kata dia, adalah naluri kemanusiaan. Namun hendaknya pertolongan itu disesuaikan dengan kemampuan daerah, terutama di tengah pandemi corona.

Ibarat rumah tangga, kita saat ini sedang susah. Tentu kita harus mengukur kemampuan diri saat ingin menolong orang lain,” tutup Iza.