Jangan Pergi Berobat

TULISAN ini berupa cerita. Cerita dari seorang teman yang pakliknya menderita sakit paru-paru basah.


Katanya sakitnya sudah lama. Kadang sembuh, kadang kambuh.

Baru kemarin dia mengirim testimoni. Yakni saat mengantar pakliknya berobat.

Di salah satu rumah sakit di Surabaya, paklik teman hanya diberi bantuan nebulizer. Tidak ada kamar. Penuh katanya.

Sempat dites rapid. Hasilnya nonreaktif. Tetap tidak dapat kamar. Akhirnya oleh dokter dirujuk.

Sebelumnya dokter bilang bahwa di tempat itu tidak ada ruang isolasi.

Hasil nonreaktif. Mau diisolasi. Tapi tidak ada kamar. Terus dirujuk.

Teman pasrah.

Setelah ditunggu lama, tidak ada dokter satu pun. Berjam-jam. Dari malam hingga subuh. Tiba-tiba datang buliknya teman. Membawa sebuah surat.

Di atas bertuliskan surat pernyataan kesediaan mengikuti prosedur penanganan dan pengendalian Covid-19.

Intinya, pasien bersedia mengikuti perawatan protokol Covid-19. Di surat pernyataan nomor 2 tertulis prosedur pemulasara jenazah.

Jika pasien meninggal, wajib untuk mengikuti prosedur pemulasara Covid-19 bagi jenazah berstatus Pasien Dalam Perawatan (PDP), Covid-19 terkonfirmasi, atau pasien berstatus PDP yang belum melakukan swab.

Pada poin D disebutkan jenazah yang sudah dibungkus TIDAK BOLEH dibuka lagi. Ditulis dengan huruf kapital.

“Apa-apaan ini!”

Teman kaget. Pasien belum ditangani, belum dirawat, belum dapat kamar, belum diapa-apain, kok sudah disuruh teken surat penyataan mati.

Rumah sakit sepertinya pesimis merawat pasien umum, kata teman.

Saat itu pihak rumah sakit memberitahu bahwa pasien tidak perlu dirujuk asal bersedia mengisi surat pernyataan dan melakukan swab test.

Untuk swab 7 hari dikenakan biaya Rp 1,7 juta. Sedang swab 3 hari biayanya Rp 2,2 juta.

Saat itu teman meluangkan waktu berdikusi dengan dokter. Dia bertanya kenapa harus dirujuk ke rumah sakit rujukan Covid-19. Padahal pakliknya kan hanya sakit paru-paru basah.

Dokternya bilang bahwa semua pasien harus dirujuk ke rumah sakit rujukan Covid-19.

Rupanya teman masih ngeyel. Pakliknya teman boleh dirujuk cuma jangan dicampur dengan pasien Covid-19.

Dokternya naik pitam. Katanya semua harus diarahkan ke rumah sakit rujukan Covid-19.

Mau tak mau, keluarga pasien akhirnya mengambil swab yang hasilnya sudah bisa diketahui tiga hari. Bayar Rp 2,2 juta.

Setelah surat pernyataan diteken, setelah bayar swab test, pasien tidak jadi dirujuk. Namun tetap tidak dapat kamar.

Pasien menjadi terlantar. Nafasnya juga terengah-ngah. Selama berjam-jam menunggu kamar yang katanya penuh. Berjam-jam pula belum mendapat perawatan.

Penanganan cekatan hanya melayani swab saja. Itu pun setelah teken surat penyataan dan bayar.

Begitu menginjak pagi, paklik teman baru diberi infus. Diberi obat. Tapi tetap belum dapat kamar.

Cerita teman ini menjelaskan kecurigan publik selama ini, bagaimana penanganan pasien di tengah pandemi Covid-19.

Publik menduga, pandemi Covid-19 sengaja dimanfaatkan oknum rumah sakit untuk mengeruk keuntungan semata.

Setelah rapid test dicibir banyak pihak karena menjadi ladang bisnis yang sesat dan tidak berperikemanusiaan, giliran swab test menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Itu belum termasuk biaya pemulasara jenazah pasien ala protokol Covid-19.

Dalam kasus ini, rumah sakit tidak lagi menggunakan sisi kemanusiaan dalam menangani pasien.

Padahal dalam UU Kesehatan Pasal 32 disebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Ini artinya rumah sakit dilarang menolak pasien yang dalam keadaan darurat serta wajib memberikan pelayanan untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Pasal 85 UU Kesehatan juga sama. Dalam keadaan darurat pada bencana, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.

Disebutkan pula, fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.

Fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk tindakan medis tanpa memandang ada atau tidaknya keluarga pasien yang mendampingi saat itu.

Adapun sanksi pidana bagi rumah sakit yang tidak segera menolong pasien yang sedang dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama, dapat dipidana penjara paling lama dua tahun.

Dan apabila menyebabkan pasien cacat atau meninggal, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun.

Sayangnya, dalam kasus pakliknya teman, rumah sakit terkesan menggunakan aji mumpung.

Ya, mumpung ada Covid-19, semua pasien harus menjalani protokol Covid-19. Sementara perawatan si pasien akibat sakit yang diderita malah terabaikan. Nyawa manusia jadi ajang pertaruhan.

Kalau semua pasien dianggap Covid-19 dan pihak medis rumah sakit hanya fokus ke penanganan Covid-19, kasihan sakitnya pasien tidak ditangani. Akhirnya mereka hanya menunggu matinya saja. Maka jangan heran angka penderita Covid-19 tinggi.  

Di akhir ceritanya, teman yang trauma ini memberi saran begini: kalau sama-sama matinya, pilih mati di rumah saja ketimbang pergi berobat ke rumah sakit atau dokter.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim