Mahasiswa Geruduk DPR, Ah Yang Bener?

BEDA mahasiswa sekarang (abad 21) dengan mahasiswa dulu (abad 20), setidaknya ada dua faktor. Pertama, mahasiswa sekarang umumnya lebih berorientasi pada kerja. Cepat lulus, IP bagus, dapat pekerjaan, punya duit, lalu cari mertua. Nggak sabar untuk segera hidup mapan.


Para aktivis mahasiswa di abad 20, mental berbangsanya lebih kuat dibanding aktivis mahasiswa abad 21. Dulu saat ke Jakarta, para mahasiswa naik bus, kereta atau kapal. Bahkan ada yang numpang truk. Makannya nasi bungkus. Siap drop out.

Mahasiswa sekarang? Naik pesawat bro! Rapatnya suka di resto dan kafe. Mungkin para aktivis sekarang berasal dari orang tua yang kaya. Atau sudah pinter cari donatur.

Djoko Edhi Abdurrahman, mantan anggota dewan yang sekarang aktif sebagai pengacara ini pernah melempar isu bahwa ada dana Rp 200 juta yang mengucur setiap bulannya ke Ormas Mahasiswa. Rp 20 juta untuk pimpinannya.

Isu sempat ramai, bahkan Djoko Edhi akan dilaporkan ke polisi. Ditunggu, kok laporannya nggak jadi-jadi, kata Djoko Edhi.

Benar atau tidak itu isu, proses hukum nggak berjalan. Karena laporan nggak kunjung dibuat. Sehingga masyarakat nggak tahu persisnya. Tapi, stigma terlanjur menyebar.

Kedua, posisi mahasiswa sekarang berada dalam tekanan kampus. Sejak rektor dipilih oleh menteri dan dekan dipilih oleh rektor, maka kampus berada dalam kontrol.

Di zaman Orde Lama dan Orde Baru, kampus juga berada dalam kontrol. Ada juga mahasiswa, dosen, dan rektor yang dipecat. Bahkan dipenjara. Tapi sekarang, kontrolnya lebih terstruktur. Melalui semua pimpinan kampus. Macam-macam, sikat!

Saat ini, nyaris rektor dan dekan menjadi alat kontrol kampus. Tidak saja mahasiswa, dosen yang terlalu kritis terhadap penguasa akan dapat teguran. Bahkan sebagian dapat teror dan intimidasi. Kasus diskusi publik di Fakultas Hukum UGM yang sempat ramai beberapa bulan lalu jadi salah satu buktinya. Gimana nasib kasusnya? Gelap!

Maka, ketika ada info tanggal 16 Juli 2020 mahasiswa seluruh Indonesia akan geruduk DPR berkaitan dengan RUU HIP dan RUU Omnibus Law, masyarakat agak apatis. Yang bener saja. Paling juga berapa jumlahnya. Begitu kira-kira keraguan masyarakat.

Selain tidak kompak, dan itu bisa dilihat dari sisi jumlah yang demo selama ini sehingga perlu bantuan anak-anak STM, juga cepat kendor. Demonya berhenti sebelum tuntutan dipenuhi. Layu sebelum berkembang. Memble!

Jika demo zaman dulu ada mahasiswa dianiaya dan mati, urusannya jadi panjang. Perubahan punya harapan. Saat ini, beberapa orang mati, termasuk mahasiswa saat demo, biasa saja. Demo berhenti dan kematian para korban seolah dilupakan. Mungkin sudah diganti dengan santunan, atau dapat hadiah sepeda. Kasihan nasib orang-orang yang mati itu. Doaku, semoga perjuangan kalian tak sia-sia. Dan kalian sudah bersama bidadari di sana.

Meski begitu, bangsa ini harus tetap optimis. Berikan kesempatan kepada siapapun, termasuk mahasiswa untuk berjuang. Selama tidak destruktif, berjalan sesuai dengan aturan hukum, rakyat akan selalu dukung. Semoga kali ini, endingnya nggak mengecewakan.

Tony Rosyid

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa