Mulai Dari Rieke Pitaloka

RUU HIP menghebohkan bukan dalam arti konstruktif tetapi menimbulkan reaksi masif. Protes terjadi di mana-mana yang intinya mendesak agar DPR atau pemerintah menghentikan, membatalkan, atau mencabut RUU tersebut. RUU kontroversial yang dinilai dapat menjadi pintu bangkitnya neo PKI dan faham komunisme ini oleh sebagian masyarakat disinyalir sebagai "makar ideologis".


Kritik dan desakan di samping pada tuntutan pembatalan RUU juga meminta pengusutan siapa inisiator atau konseptor dari RUU "makar ideologis" tersebut. MUI dalam Maklumat yang dikeluarkannya juga menekankan pada desakan ini.

Ketika sudah diakui bahwa usulan ini berasal dari Fraksi PDIP, maka yang perlu kejelasan dan tindak lanjut adalah apakah usulan itu bersifat perorangan atau fraksional. Lalu di mana Rieke berada selain sebagai Ketua Panja dan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR ?

Fraksi PDIP mengantisipasi "skandal" RUU HIP ini dengan mencopot Rieke Dyah Pitaloka dari kedudukan sebagai wakil ketua Baleg dan digantikan oleh Komjen Muhammad Nurdin. Penggantian mana menjadi tanda "sanksi" ringan atas Rieke.

Hanya masalahnya adalah apakah sanksi itu berkaitan dengan kesalahan dirinya sebagai bagian dari inisiator atau karena memang tak mampu menjalankan "misi" fraksi atau partai dalam menggolkan RUU ?

Pengusutan mulailah dari Rieke. Pengusutan politik maupun hukum. Dari mulai Rieke dapat bergeser kesana sini dalam arti keterlibatan beberapa pihak. Rieke sudah dilaporkan ke kepolisian tinggal gerak penyelidikan yang ditunggu.

Pasal 107 KUHP dapat menjadi acuan pelanggaran dengan ancaman hukuman 12 hingga 20 tahun. Tak ada hak imunitas anggota Dewan untuk perbuatan dugaan makar.

PDIP tak lepas dari sorotan masyarakat. Perlu langkah konkrit untuk meluruskan rel perjuangannya, yaitu:

Pertama, melakukan "pembersihan" kader yang disinyalir "leftist" kiri. Faksi ini bisa merusak citra ciri "nasionalis" PDIP. Masyarakat khawatir pada gaya politik PKI yang mahir dalam penyusupan.

Pulihkan citra PDIP sebagai Partai "tengah". Bukan partai "kiri" dan "sarang kader komunis". Bila tidak, bisa saja masyarakat memberi predikat sebagai "PKI Perjuangan".

Kedua, evaluasi narasi dari Mukadimah dan Batang Tubuh AD/ART PDIP yang bernuansa Orde Lama. Tidak boleh ada interpretasi bahwa platform perjuangan PDIP itu adalah "tak suka" Pancasila 18 Agustus 1945.

Terkesan bertahap sedang menanamkan ideologi Pancasila 1 Juni, Trisila, dan Ekasila. Jika ini dipertahankan, maka wajar jika ada anggapan publik bahwa PDIP memang bervisi misi untuk menggoyahkan ideologi Pancasila.

Dalam kaitan skandal RUU HIP maka transparansi dan konsistesi pada pembelaan Pancasila mesti dibuktikan. Bukan sedang menyosialisasikan sila "gotong royong" yang seperti bagus sebagai "bahu membahu”, tetapi pada interpretasi ekstrim menjadi "communalism" dan "materialism" yang hakekatnya adalah "communism".

“Communism is philosophical, social, political, economic ideology and movement whose ultimate goal is the establishment of a communist society”.

Budaya konflik dan menghalalkan segala cara melekat dengan perjuangan komunisme. Agama dianggap musuh dan candu masyarakat.

Komunisme adalah kejahatan sekaligus penyakit berat yang berbahaya. Harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.

M. Rizal Fadillah

Pemerhati politik dan kebangsaan