Bawa Jenazah Harus Bayar Rp 8,7 Juta, RSU Medika Utama: Itu Uang Titip Biaya Perawatan, Bukan Pungli!

Penarikan biaya terhadap keluarga pasien yang diduga terpapar Covid-19 senilai Rp 8,7 juta yang belakangan disebut-sebut dilakukan RSU Medika Utama di Kabupaten Blitar, dibantah pihak rumah sakit sebagai pungli.


“(Biaya) itu bukan untuk pemakamannya pak. Tapi total seluruh biaya sejak ditangani di UGD sampai pemulasaraan dan pemakamannya. Lain-lain biaya obat, infus, APD dan sebagainya selama di UGD. Saya lupa rinciannya. Kalau pemakamannya saja sekitar Rp 1 juta, pemulasaraan kisaran Rp 3 juta karena ada peti jenasahnya,” kata Direktur RSU Medika Utama, dr Rudy SK Hedo, M.Kes saat dikonfirmasi Kantor Berita RMOLJatim, Kamis (23/7) malam.

Ditambahkan Rudy, biaya yang dikeluarkan keluarga pasien untuk mengambil jenazah hanya sebagai jaminan saja.

“Itu bukan pasien bayar. Memang aturan di kami untuk pasien swasta yang tidak ada penjaminnya akan titip uang biaya perawatan. Tapi setelah proses klaim kami ke Kemenkes melalui BPJS Kesehatan sudah di-acc, uang tersebut akan kami kembalikan penuh,” jelasnya.

Lanjut Rudy, untuk pasien BPJS Kesehatan tidak berlaku uang titip perawatan, sebab mereka bisa langsung pulang karena sudah jelas penjaminnya yakni BPJS Kesehatan. Sehingga Rudy mematiskan bahwa pihaknya sama sekali tidak melakukan pungli terhadap pasien.

“Jadi tidak ada pungli atau kami menarik biaya 2 kali,” terangnya.

Seperti diberitakan Kantor Berita RMOLJatim sebelumnya, Rudi Handoko, warga Kelurahan Garum, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar ‘dipaksa’ membayar Rp 8,7 juta saat hendak membawa pulang jenazah ayah mertuanya yakni Abdul Aziz dari RSU Medika Utama Kabupaten Blitar.

Usai pemakaman jenazah, Rudi dan keluarga diminta menjalani isolasi mandiri. Selama karantina mandiri Rudi sekeluarga tidak mendapatkan bantuan apa-apa.

Setelah karantina, Rudi dan keluarga menjalani rapid test dengan hasil nonreaktif. Untuk hasil swab test almarhum Abdul Aziz dinyatakan negatif.

Kejadian ini tidak serta merta selesai. Pasalnya, Rudi sekeluarga terlanjur dicap masyarakat terpapar Covid-19. Seluruh keluarganya dikucilkan oleh masyarakat.

“Selama karantina kami dikucilkan warga. Selama itu kami juga tidak mendapatkan apa-apa. Katanya ada bantuan, ternyata sama sekali tidak ada. Kami tidak pernah didatangi pemerintah, tidak pernah dicek kesehatan, tidak pernah diperiksa,” keluh Rudi.

Rudi meminta pihak-pihak terkait agar bijak dalam membuat aturan protokol kesehatan. Kalau asal-asalan seperti itu, yang dirugikan masyarakat.

“Kami berharap agar pemerintah melek dengan kejadian ini. Kalau sampai semua pasien yang sakit dinyatakan Covid-19 dan pihak keluarga yang menanggung akibatnya, terus langkah pemerintah seperti apa. Apakah kalau kami dikarantina, ada bantuan dari pemerintah. Kalau karantina adakah yang memberi makan ternak kami. Mereka tidak sampai mikir sampai situ,” kritik Rudi.

Setelah ayah mertuanya dinyatakan negatif corona, Rudi beserta keluarganya meminta agar namanya dipulihkan.

Menanggapi hal ini, Rudy mengatakan untuk memulihkan nama keluarga yang masuk kategori PDP menjadi tugas dari Dinkes setempat, Satgas dan desa.

“Iya itu (pemulihan nama) nanti dari pihak Dinkes, Satgas dan desa. Besok (Jumat, 24/7) kami sampaikan ke Satgas dan Dinkes untuk masalah pemulihan nama. Tempo hari juga pernah seperti itu kejadiannya. Selama penanganan pasien, kita pasti tidak mengatakan covid kalau hasil swab belum keluar. Tapi kalau skreening awal mengarah ke situ, ada form skreening memang dari Kemenkes acuannya,” jawab Rudy.

Rudy juga menjelaskan bahwa selama penanganan pasien, pihaknya telah menjalankan protokoler kesehatan sesuai aturan yang diberlakukan Kemenkes.

“Jadi kita tidak mengarang-ngarang untuk diagnosa awalnya. Jadi memang diagnosa pasti harus nunggu hasil swab. Tapi protokol penanganan sejak awal sudah seperti covid. Kalau swab positif diagnosa berubah jadi terkonfirmasi. Kalau negatif tetap sebagai PDP atau sekarang suspect istilahnya,” pungkasnya.