Refleksi Tragedi Kudatuli, Bambang DH: Alat Negara Tak Boleh Lagi Dipakai Sebagai Alat Kekuasaan

Tanggal 27 Juli 24 tahun lalu, suasana Jakarta mencekam. Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diambilalih paksa lewat pertumpahan darah.


Peristiwa yang dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) ini adalah salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Kala itu Orde Baru di bawah Soeharto dinilai mengekang kebebasan demokrasi rakyat Indonesia. Sementara itu, Soerjadi di PDI juga merupakan ‘boneka’ pemerintah Orde Baru, sehingga warga terutama massa pro-Mega bergolak melawan.

Megawati sebagai Putri Presiden pertama Indonesia, Soekarno kala itu berhasil menjadi pengobar semangat, bahkan ‘ruh’ perjuangan agar Indonesia menjadi negara demokratis.

“Tragedi 27 Juli contoh praktik kekuasaan yang frustasi menghadapi arus bawah/rakyat. Kekerasan selalu dianggap menjadi solusi bagi kekuasaan. Dalam alam demokrasi yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap HAM, praktik seperti ini tidak boleh terjadi lagi,” ujar Anggota Komisi III, DPR RI, Bambang DH dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Senin (27/7).

Dia menambahkan, peristiwa Kudatuli harus diketahui dan dipahami oleh semua generasi bangsa, terutama kalangan milenial. Tragedi ini bukan sekadar perjuangan Pro-Mega tapi juga perjuangan semua lapisan masyarakat yang sudah jengah dengan kediktatoran Orde Baru.

Sabtu kelabu juga menjadi tonggak dimulainya reformasi politik dan kebebasan demokrasi di Indonesia.

“Ini harus menjadi pelajaran bagi kita saat ini dan generasi-generasi mendatang. Jangan pernah alat negara digunakan sebagai alat kekuasaan. Bisa ambruk negara ini kalau hal itu dilakukan. Beruntung saat Kudatuli terjadi semua elemen masyarakat, tidak hanya promega, tapi juga mahasiswa, ormas dan warga biasa bersatu padu melawan rezim orde baru,” ujarnya.

Bambang DH juga mendesak Pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran berat ini. Jalan panjang memang ditempuh oleh PDIP untuk menjernihkan peristiwa ini. Sebab hingga kini para pelaku penyerbuan masih bebas berkeliaran. Terkesan ‘dilindungi’ oleh hukum.

“Kudatuli adalah kasus pelanggaran HAM berat  masa lalu yang harus dituntaskan penyelidikannya.Harus diadili sesuai dengan ketentuan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pangadilan HAM,”katanya.

Untuk diketahui, meletusnya Kudatuli di Jakarta juga merembet ke daerah-daerah termasuk Surabaya. Bambang DH menjadi salah satu komando pro-Mega di Jatim. Pada Minggu tanggal 28 Juli 1996 Posko ProMeg Jatim di Jalan Pandegiling, Surabaya dikepung oleh tentara.

Saat itu Bambang DH sempat disandera dan baru dibebaskan setelah campur tangan Cak Roes (Pejuang "45).

Sementara itu, menurut data saat Komnas HAM dipimpin oleh bekas Menteri Agama Munawir Sjadzali, diungkap data peristiwa Kudatuli memakan korban 5 orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang.

“Meski hingga saat ini belum juga ada angin segar penuntasan kasus Kudatuli, kami percaya masih ada niat baik dari Komnas HAM dan negara untuk menuntaskan kasus ini juga,” ujarnya.

Sebab dengan penuntasan kasus ini, Bambang DH yakin, bukan hanya para korban dan keluarga korban Kudatuli yang lega, tapi negara juga akan mendapatkan energi positif. Sebab, secara otomatis langkah penuntasan pelanggaran HAM ini akan menghapus preseden buruk bagi penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia.