Di Balik Ledakan Lebanon

Demo di Lebanon rata-rata didominasi kaum hawa/Net
Demo di Lebanon rata-rata didominasi kaum hawa/Net

LEDAKAN hebat terjadi di Beirut, Lebanon, Selasa (4/8) lalu. Fokus dunia yang selama ini dihiasi Covid-19 langsung bergeser ke negara itu.  

Pasca ledakan, media-media dunia berlomba memberitakannya termasuk Indonesia.

Duta Besar RI untuk Lebanon, Hajriyanto Y Thohari menjadi sasaran media-media Indonesia.

Saat berdikusi dengan Kantor Berita RMOLJatim, Jumat (7/8) malam, Hajriyanto membeberkan banyak hal terkait dengan negara Timur Tengah tersebut.

Lebanon unik dan menarik, kira-kira seperti itu yang diceritakan Hajriyanto.

Apa yang unik dan menarik?

Negara ini sudah lama mengalami krisis. Perang saudara. Antara Kristen dan Islam. Sejak tahun 1975 hingga 1990.

Bahkan jauh sebelum itu, Lebanon selama beribu-ribu tahun telah menjadi persimpangan utama peradaban dunia.

Lebanon yang disebut Shebaa Farms atau sebongkah tanah kecil di dataran tinggi Golan, terus-terusan menjadi rebutan.

Lebanon pernah Berjaya di tangan Muslim tepatnya di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Pusatnya di Beirut. Pada masa itu, Lebanon menunjukkan perkembangannya sebagai masyarakat modern. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi Lebanon dan negara ini menjadi bagian dari peradaban Islam yang gemilang.

Beirut dan Suriah pernah jatuh ke tangan pemerintahan Turki Usmani atau Ottoman.

Kata Hajriyanto, pelabuhan yang meledak itu dulunya adalah pintu masuk ke negara Syam. Itu adalah pelabuhan tua.

Secara teknis, Beirut menjadi bagian dari Provinsi Ottoman, Damaskus, dan kemudian Sidon.

Namun sejak kekuasaan Ottoman runtuh atau tepatnya di akhir Perang Dunia I, kota ini jatuh ke tangan Prancis.

Selama memerintah Lebanon, Prancis berniat baik terhadap negara tersebut dan menyerahkan kepemimpinan negara kepada masyarakat. 

Masyarakat Lebanon menerima mandataris Prancis tersebut. Bahkan, mereka meminta berpisah dari Suriah sehingga bisa berdiri sendiri.

Kebebasan Lebanon penuh baru diperoleh pada 1946 walaupun secara resmi negara tersebut merdeka pada 22 November 1943. 

Secara generik, Lebanon seperti negara-negara Arab lainnya, melahirkan banyak spekulasi. Semua tahu Lebanon menjadi negara proxy dari kekuatan besar baik regional maupun internasional, dan memang sangat potensial.

Negara ini baru selesai perang saudara pada 2006 usai diduduki Israel. Pengungsian besar-besaran terjadi. Kini masuklah Hizbullah.

Selama itu, Lebanon mengalami kekosongan pemerintahan hingga 2018. Namun pada Oktober 2019 terjadi revolusi.

Michael Aoun masuk sebagai Presiden dengan Perdana Menterinya, Hassan Diab pada Januari 2020. Namun baru beberapa minggu bekerja, sudah tersapu pandemik Covid-19.

Ekonomi Lebanon pun runtuh. Harga-harga mengalami kenaikan hingga 5 kali lipat.

Lebanon mengalami triple crisis.

Gelombang protes terjadi hampir tiap hari. Apa saja didemo. Yang tidak sreg di hati didemo.

Soal kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat, Lebanon termasuk satu-satunya negara yang menjunjung tinggi hal tersebut. Negara Arab tapi mirip Eropa.

Saking tingginya kebebasan berpendapat di Lebanon, bahkan mungkin bisa dibilang nomer satu di dunia.

Para pendemo bebas mengkritik pemerintah. Bebas berorasi. Bebas bikin parodi kritik. Bebas mengumpat. Bebas bikin panggung.

Demonstrasi di Lebanon tidak mengenal waktu. Bisa pagi, siang, malam, atau subuh.

Dan, semua media massa bebas menyiarkan langsung. Apalagi Lebanon tidak punya Undang Undang yang mengatur pers. Tidak ada menteri penerangan atau menteri informasi yang mengancam kebebasan pers atau mengintimidasi pers. Pasalnya, kebebasan berpendapat sudah jadi ideologi.

Bahkan di tengah pandemik Covid-19, meski dilarang demo, warga Lebanon tetap berdemo.

Freedom of speech warganya sangat tinggi. Yang bisa menghentikan mereka hanya musim dingin. 

Hal ini bisa disebabkan kebebasan berpendapat Lebanon merupakan warisan revolusi Prancis.

Di Lebanon, tradisi kebebasannya dituangkan dalam berbagai kitab maupun buku.

Saking tingginya tradisi literal di Lebanon, bahkan banyak orang dari luar Lebanon menulis buku dan diterbitkan di Beirut.

Di sini buku-buku dicetak bebas. Buku apa saja. Buku liberal, atheis, komunis, Sunni, Syiah, semua bebas.

Kini, dengan adanya ledakan dahsyat yang mengguncang Lebanon, yang bisa dilakukan pemerintah hanya menunggu.

Kata Hajriyanto, mereka menunggu cairnya bantuan dari lembaga-lembaga internasional, termasuk donatur dari negara-negara yang dekat dengan Lebanon seperti Prancis dan Amerika Serkat (AS).

Sayangnya bantuan itu tidak kunjung cair. Sebab, Presiden Prancis Emmanuel Macron menuntut Lebanon untuk melakukan reformasi.

Ya, negara ini sudah lama menganut sistem konfesionalisme. Ini salah satu bentuk konsosiasionalisme yang merupakan pembagian kekuasaan atau political of share power berdasarkan sekte.

Meski ada pemilu bebas, meski ada partai politik, tetapi dalam koridor sistem konfesionalisme yakni pemisahan urusan agama dan negara. Bukan berarti sekuler. Memisahkan urusan agama dan negara dengan memisahkan agama dan negara, itu dua hal berbeda.

Di Lebanon pembagian kekuasaan negara dilakukan secara pengakuan sekte. Jadi mereka tidak peduli apakah ke masjid atau tidak, ke gereja atau tidak, tetapi yang dilihat adalah pengakuannya seperti apa. Itulah yang mendapatkan porsi.

Misalnya anggota kabinet harus fifty-fifty Muslim dan Kristen. Begitu juga anggota parlemen 132 dibagi 2. Muslim separuh, Kristen separuh.

Seperti halnya Sunni, Syiah, Alawi, dan Druze, mereka masuk Islam. Maka nanti, pemilunya sudah ditentukan, siapa yang menjadi ketua dan wakil.  

Dari presiden hingga ke pejabat paling bawah juga akan di-breakdown sesuai sekte masing-masing. Sangat teliti sekali.

Dengan menganut sistem konfesionalisme ini, maka tidak heran anak-anak muda di sana turun untuk berdemo.

Mereka meminta untuk segera dilakukan reformasi. Yang unik, rata-rata pendemonya adalah kaum hawa.

Mereka dijuluki Athawra An Nisa’iyah atau revolusi perempuan.

Mereka sudah jenuh dan bosan dengan adanya sekte-sekte dan agama. Bahkan ada yang meminta agar Lebanon dikembalikan ke mandataris Prancis.

Sebaliknya, para orangtua di Lebanon berpendapat, justru yang membuat Lebanon stabil adalah sistem konfesionalisme yang dikukuhkan dan disepakati dalam perjanjian Thaif pada 1943. Di situlah terbentuknya negara sektarian.              

Selain reformasi sistem pemerintahan, reformasi di bidang hukum juga dituntut warga Lebanon.

Betapa tidak, negara ini sudah bangkrut ke titik nadhir karena persoalan korupsi. Istilah bahasa kita, korupsi berjamaah.

Penulis adalah wartawan RMOLJatim