Dokter Ilmuwan

Dahlan Iskan/disway
Dahlan Iskan/disway

SAYA pernah kasihan pada dokter saya di Tiongkok. Ia dimarahi bos besar di rumah sakit itu.
 
Bos itu juga seorang dokter. Bahkan doktor (S-3)-nya didapat dari Jepang. Kemarahan bos itu gegara keluhan saya. Yang berhari-hari tidak segera teratasi. Saya lupa punya keluhan apa saat itu. 

Tapi tidak pernah lupa kata-kata marah dari sang bos tersebut. Pikirkan terus kenapa seperti itu. Jadi dokter itu harus terus berpikir. Jangan pernah berhenti menjadi ilmuwan,” kira-kira begitu ujar bos tersebut. 

Ia kesal melihat dokter yang biasa-biasa saja. Rupanya sang bos mengira saya tidak mengerti isi kemarahannya itu. Memang saya belum mengerti sepenuhnya semua isi kata-katanya, tapi saya sudah bisa menyimpulkan ucapan-ucapannya itu. 


Apalagi disertai ekspresi wajah yang seperti itu. Sang bos sendiri memang punya jiwa ilmuwan yang tinggi. Ialah yang mengembangkan transplantasi hati di rumah sakit itu. 


Mulai nol. Sampai bisa melakukan transplantasi lebih dari 3.000 kali setahun. Yang ditransplan pun bukan hanya hati, juga jantung, ginjal, mata, dan apa saja. 
Teater operasi di rumah sakit itu begitu banyak. Bisa 13 operasi dilakukan serentak dalam waktu bersamaan. Begitu datang satu donor, beberapa organnya bisa diambil dan dipasangkan ke beberapa orang secara serentak.

 
Bos itu sendiri bukan tidak pernah gagal. Transplan pertama yang ia lakukan tidak berhasil. Orangnya meninggal dunia. Yang berbeda adalah: Organ yang gagal itu ia masukkan stoples besar.

 
Direndam dalam cairan pengawet. Stoples besar itu ia tempatkan di meja kerjanya. Ia menjadikan stoples tersebut monumen kegagalannya. Untuk jangan sampai terjadi lagi. 


Suatu saat ada reuni besar orang-orang yang berhasil menjalani transplan di rumah sakit itu. Tempatnya di gedung pertemuan untuk acara-acara besar di Tianjin
 Ribuan orang hadir. Waktu itu saya baru satu tahun menjalani transplan hati. Saya pun belum tahu bisa hidup berapa tahun lagi. Di acara reuni itu optimisme saya muncul.


Terutama ketika melihat pertunjukan di panggung. Yang dilakukan oleh mereka yang sudah lebih dulu menjalani transplan hati. 


”Benarkah yang main wushu itu pernah menjalani transplan hati?” tanya saya kepada petugas rumah sakit yang duduk dekat saya. 


Saya seperti tidak percaya mantan pasien transplan bisa main wushu seseru itu. ”Ia menjalani transplan lima tahun lalu,” ujar petugas rumah sakit tersebut. 
Saya pun menjadi lebih optimistis lagi. Memang tidak akan bisa sampai main wushu sekelas itu.

Tapi minimal bisa beraktivitas normal. Orang yang duduk di sebelah saya juga kelihatan normal.


 ”Saya sudah 9 tahun,” ujar orang Korea yang duduk di dekat saya itu. 


Dorongan optimisme di acara reuni itulah yang membuat saya juga merasa menjadi orang ”normal”. Tidak disangka setahun setelah reuni itu saya sendiri justru menjadi sesuatu di Jakarta. 


Bulan lalu adalah tahun ke-14 saya menjalani hidup baru. Memang saya belum bisa sampai main wushu, itu karena saya memang tidak bisa. Tentu banyak juga dokter yang harus dimarahi seperti itu.


 Di sini dan di mana pun. Yakni, mereka yang berhenti menjadi ilmuwan. Berhenti berpikir. Berhenti melakukan penelitian. Tapi, pasti lebih banyak lagi dokter yang terus berpikir mengatasi persoalan penyakit pasien mereka.


 Semua dokter seharusnya bisa tetap jadi ilmuwan. Dan itu didukung oleh status dokter sebagai profesi. Bukan sebagai pekerja. Ketika melakukan aktivitas, seorang dokter itu disebut berprofesi. 


Bukan bekerja. Sebuah pekerjaan baru bisa disebut profesi kalau -salah satu syarat pentingnya- memiliki otonomi untuk melakukan atau tidak melakukan.
 Definisi itulah yang membuat dokter semestinya tidak pernah berhenti sebagai ilmuwan. Ia/dia memiliki otonomi itu. Dokter berbeda dengan kita-kita yang bekerja hanya sesuai dengan SOP. 


Maka, beruntunglah orang yang baru akan terkena Covid-19 tahun depan. Nasibnya akan sangat berbeda dengan yang sudah terkena Covid-19 enam bulan yang lalu.


Mestinya. Waktu itu semua dokter gagap. Ini penyakit yang belum pernah ada. Tapi, keilmuwanan dokter membuat mereka terus belajar. Berpikir. Mencoba. 


Tentu ada yang gagal. Tapi, pasti ada yang berhasil. Atau setengah berhasil. Saya akan minta seorang dokter untuk menulis. Terkait soal pengobatan Covid-19 ini.


 Kalau ada. Apa saja yang enam bulan lalu dilakukan dan apa saja yang hal itu tidak ia/dia lakukan lagi. Juga apa saja yang dulu belum dilakukan dan kini, enam bulan kemudian, sudah ia/dia lakukan. Tentu bagi yang sudah telanjur meninggal tidak punya hak untuk menyesal. 


Jasa mereka tetap besar sebagai ”korban” proses berkembangnya ilmu pengetahuan. Toh Tuhan sudah menjanjikan bahwa ”mereka yang meninggal akibat wabah” berstatus mati syahid: pasti masuk surga. Pun mereka ini: 103 dokter Indonesia yang tercatat sampai kemarin telah meninggal dunia. Sedang kita-kita masih dalam status mencari jalan bagaimana kelak bisa masuk surga.