Bahaya Politik Dinasti dan Oligarki di Pilkada Serentak 2020

Danu Budiyono/Repro
Danu Budiyono/Repro

KAMI mensinyalir bahwa Pilkada langsung telah banyak dimanfaatkan untuk melanggengkan politik dinasti di banyak daerah. 

Para calon petahana mengembangkan strategi agar dinastinya bertahan hanya pada keluarganya.

Mereka seolah-olah menciptakan kerajaan kecil yang justru bertolak belakang dengan semangat Pilkada langsung untuk memilih pemimpin yang benar-benar berasal dari rakyat dan diinginkan oleh rakyat.

Hal-hal yang mengakibatkan munculnya dinasti politik antara lain;

Pertama, adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasan. Ini bisa disebut rakus dan serakah.

Kedua, adanya kelompok teroganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.
Termasuk tidak jalannya pengkaderan partai politik.
 
Ketiga, adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi. Termasuk di dalamnya mengamankan program atau masalah bahkan bisa jadi kasus incumbent.

Keempat, adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekeuasaan modal sehingga mengakibatkan korupsi. Di antaranya kepala daerah yang merangkap maklar investasi, maklar produk hukum Perda Perbub dan lain-lain.

Sedangkan bahaya politik dinasti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain;

Pertama, politik dinasti menutup  peluang calon lain. Padahal calon lain bisa jadi lebih kompeten dan memiliki intergritas lebih dari calon petahana, sehingga Pilkada menjadi tidak obyektif karena tidak berdasarkan kemampuan Dmdan keahlian yang sebenarnya.

Kedua, rawan Plpenyalahgunaan wewenang. Menjalankan politik dinasti seperti mrnjadi raja kecil dengan segala kekuasaannya.

Mereka akan bebas mengeluarkan Keputusan-keputusan yang justru sering kali hanya menguntungkan keluarga dan kerabatnya saja.

Banyak yang kemudian menjadi lupa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Yang berarti menghambat usaha pemerintah untuk mensesjahterakan rakyat.

Ketiga, rawan korupsi. Tentu saja politik dinasti membuka celah celah untuk melakukan korupsi. Sebab sistem pengawasan menjadi kendur karena semua personel masih handai tolan.

Mereka enggan menegur pimpinan jika melakukan kesalahan, apalagi jika telah ikut kecipratan rezeki dari dinasti tersebut.

Dari Pilkada-pilkada ang ada hampir 70 kepala daerah adalah produk dinasti, dan hampir semuanya tidak membawa kemajuan di daerahnya, bahkan cenderung korup dan otoriter.

Walaupun memang mahkamah konstitusi membatalkan pasal 7 UU No.8/2015 huruf R mengenai larangan calon kepala daerah yang masih memiliki hubungan keluarga dengan petahana, yang artinya diperbolehkan memilih dan dipilih.

Karena itu saya tetap yakin masyarakat saat ini adalah pemilih yang cerdas. Masyarakat bisa menentukan pilihannya berdasarkan rekam jejak calonnya.

Penulis adalah pengamat sosial politik Banyuwangi