SBY, Perdamaian, Dan Keadilan

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

PERDAMAIAN tidak sepatutnya hanya dimaknai sebagai ketiadaan perang dan kekerasan di tengah masyarakat (the absence of war and violence), tetapi harus lebih dipahami sebagai hadirnya rasa keadilan sosial, ekonomi, dan hukum di tengah-tengah masyarakat. Keadilan adalah jembatan masa depan yang akan menjaga fondasi persatuan bangsa. 

Demikian pesan penting dari buku berjudul "Dunia Damai Jika Keadilan Tegak: No Justice, No Peace" karya Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini. Buku ini hadir dalam rangka merespons perkembangan dan dinamika sosial politik mutakhir, baik berskala nasional maupun global. 

Ibarat kopi, buku ini lengkap dengan pahit dan manisnya. Takarannya pas. Tidak sekadar pahit, namun juga tidak terlalu manis. Tidak melulu menyajikan kegetiran, namun di dalamnya memantulkan pancaran harapan dan tone optimistis. Ada persoalan, ada solusi. 

Lantaran ditulis langsung oleh tokoh yang punya pengalaman panjang dalam pemerintahan dan kepemimpinan nasional-global, buku ini hadir tidak dari ruang kosong. Landasannya kokoh. Argumentasinya teruji. 

Sebagai contoh, ketika di berbagai belahan dunia terjadi banyak peperangan, termasuk perang saudara dan pemberontakan, konflik dan aksi-aksi kekerasan dan instabilitas politik yang tinggi, tentu banyak faktor dan penyebab mengapa semua itu terjadi. SBY melalui buku ini membeberkan lima penyebab mengapa dunia masih jauh dari keadaan damai. 

Pertama, persoalan kemiskinan. Kemiskinan bukan semata persoalan ekonomi. Lebih jauh, kemiskinan adalah persoalan “penderitaan” dan ketidakadilan. Orang miskin merasa ditinggalkan. Bahkan merasa dipermalukan. 

Dalam kehidupan merasa kalah dan tak berdaya. Apalagi jika mereka melihat kemewahan yang “dipamerkan” oleh orang-orang kaya. Sebagian mereka merasa tidak mendapatkan keadilan. Pemerintah dan negaranya dianggap tidak adil (hlm. 30). 

Kedua, persoalan ketimpangan. Ketimpangan adalah pasangan kemiskinan. Ketimpangan akan memantik sentimen negatif bagi warga untuk berteriak lantang—bahkan turun ke jalan—meneriakkan keadialan. 

Sebab, rasa tidak adil dan tidak puas warga dengan cepat akan menjelma kebencian, kemarahan, dan bahkan sikap hendak melawan. Jika situasi ini tak terkendali, maka akan berujung pada keos dan konflik horizontal-vertikal berkepanjangan. 

Ketiga, persoalan diskriminasi. SBY dalam buku ini menegaskan bahwa diskriminasi dapat merambah ke konflik-konflik horizontal (antarsesama anak bangsa). Contoh terkini tentang isu diskriminasi adalah apa yang berlangsung di Amerika Serikat beberapa waktu lalu, menyusul tewasnya George Floyd. Kaum kulit hitam merasa didiskriminasi karena rasnya. Konflik pun pecah. Kekacauan ada di mana-mana. 

Contoh lain perilaku diskriminatif ialah yang terjadi di Myanmar. Eksodus besar-besaran komunitas Rohingya dari Myanmar, karena perbedaan agama dengan mayoritas bangsa Myanmar, dinilai sebagai kebijakan dan tindakan yang diskriminatif. Myanmar kemudian menghadapi tuduhan berat, termasuk dari PBB, sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran HAM berat (hlm. 45). 

Tentu soal diskriminasi ini masih banyak kasusnya, semisal sikap anti-Yahudi, antikomunitas Tionghoa, anti-Hispanik, anti-Islam, anti-Nasrani, anti-Hindu, dan seterusnya. 

Keempat, persoalan represi negara. Repsesi merupakan sikap dan tindakan negara yang mengontrol warga negaranya secara politik. Tujuan represi untuk menciptakan rasa takut dari rakyat, terutama yang berbeda posisi dan paham dengan rezim yang berkuasa. Bagi SBY, cara berpikir represif sangat keliru. Memang sangat murah awalnya, akan tetapi sangat mahal akhirnya. 

Kelima, pemimpin yang “erratic” dan gemar perang (warlike leader). Akar dan penyebab lain yang mengakibatkan tidak damainya dunia kita selama ini, adalah tidak sedikitnya pemimpin negara yang sangat emosional, “erratic” dan gemar perang. 

Memang, sebagian orang berpendapat, terutama kaum “hawkish”, perang atau penggunaan instrumen kekerasan (termasuk militer) itu sah. Namun, menurut pihak yang lebih mencintai perdamaian, perang bukanlah tujuan. Perang itu hanya salah satu cara. 

Artinya, kalau ada diplomasi dan langkah-langkah politik lain, kenapa harus perang. Bagi SBY, perang itu ada dua jenis: perang yang memang wajib dilakukan (war of necessity) dan perang sebagai pilihan (war of choice). 

Lima hal itulah yang menurut SBY menjadi sebab dan pondasi penting dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian. Ini pula yang melatari SBY yang dalam dua periode memimpin Indonesia terkesan sangat hati-hati dalam setiap mengambil keputusan. 

Keputusan hati-hati (cauntious), berbeda dengan tidak tegas. Bukan juga ragu-ragu. Kehati-hatian merupakan cara supaya keputusan yang diambil benar-benar matang dari berbagai aspek. 

Secara substabsial, buku ini mampu mengetuk dinding kesadaran kita dalam berbangsa dan bernegara. Salah satu kunci penting dalam kepemimpinan ialah perubahan. Perubahan yang berorientasi keadalian akan berujung pada perdamaian. 

Karena itu, dalam dua kasus serius misalnya—yakni pendemi Covid-19 dan krisis lingkungan yang mengancam keselamatan bumi di masa depan—perubahan yang dilakukan haruslah dalam kerangka keadilan. 

Disajikan dengan bahasa popular dan gayeng (cair), buku ini dapat menjadi panduan penting bagi masyarakat luas dan segenap elite politik, pemimpin organisasi, ataupun para pemangku kebijakan dalam rangka meuwujudkan perubahan-perubahan besar di masa mendatang namun dengan tetap menjunjung tinggi falsafah keadilan. 

Sebagai mantan presiden dua periode sekaligus negarawan senior yang sering tampil dalam forum-forum internasional, refleksi dan pemikiran SBY atas respons sejumlah dinamika sosial-politik kontemporer tentu sangat ditunggu publik. 

Negara ini butuh para negarawan untuk memberikan sharing atas berbagai pengalaman yang dimiliki. Dalam konteks ini, Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, pernah mengatakan, “Kezaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena diamnya orang baik.” 

Ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Edmund Burke bahwa orang-orang baik jangan hanya diam kalau melihat ada sesuatu yang tidak beres atau buruk. Lakukan sesuatu. Selamat membaca!

Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia 

Penulis: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Penerbit: PT Penetbit dan Publikasi Yudhoyono Cetakan: I, 2020