Ben Bland, Antara Kontradiksi Dan Kontroversi

Buku "Man of Contradictions - Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia" karya Ben Bland/Net
Buku "Man of Contradictions - Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia" karya Ben Bland/Net

KONTROVERSIAL. Buku karya Ben Bland menimbulkan keriuhan. Tidak hanya menyangkut judul dan isi, tentu saja juga terkait dengan beragam tanggapan atas hadirnya buku tersebut. Keberadaan buku berjudul, “Man of Contradictions, Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia” setebal 180 halaman itu, menjadi sebuah upaya untuk menafsir dan mendeskripsikan arah kepemimpinan nasional. 

Sebelum masuk ke dalam pembahasan terkait isi buku yang terbagi ke dalam enam bab yang saling bersinggungan tersebut, kita harus memahami konteks sosial yang terjadi dalam gelanggang politik di Indonesia. Peta politik berubah pascapemerintahan SBY, dalam dua gelombang besar pada 2014 dan 2019 Joko Widodo (Jokowi) menjadi pemenang dari kontestasi demokrasi secara berturut-turut. 

Bersamaan dengan itu, terbentuk pula kelompok besar barisan pendukung dan penentangnya. Bagi pemuja Jokowi, maka buku Ben Bland tidak ubahnya sebagai pamflet gelap yang mendiskreditkan, bahkan dianggap mendelegitimasi kepemimpinan sang Presiden. Sementara itu, untuk kubu penentangnya, hasil penelitian Ben Bland adalah durian runtuh, sebagai amunisi tambahan dalam menilai periode kepemimpinan yang berlangsung. 

Di antara realitas pecinta (lovers) dan pembenci (haters), sesungguhnya rasionalitas harus tegak, agar kita mampu mencerna secara utuh tawaran teks yang diajukan dalam tesis Ben Bland. 

Sekali lagi, kita perlu melihat Ben Bland, pada kriteria sebagai seorang peneliti. Maka hasil penelusuran memperlihatkan Ben Bland adalah selaku Direktur proyek Asia Tenggara di Lowy Institute. 

Sementara itu, Lowy Institute merupakan sebuah lembaga kajian kebijakan tentang isu-isu politik, strategis, dan ekonomi internasional dari perspektif Australia, berpusat di Sydney secara nonpartisan. 

Sebagai seorang peneliti, Bland memiliki gelar akademik dalam Studi Asia Tenggara dari School of Oriental and African Studies di University of London. Serta mendapatkan gelar sarjana dalam bidang ilmu Sejarah dari University of Cambridge. 

Dengan begitu, kita tentu mampu melihat kapasitas dan kompetensi Ben Bland dalam merilis hasil kajian yang dibukukan ini, sebagai produk akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Lebih jauh lagi, dalam pilihan judul buku, Bland menempatkan posisi “Man of Contradictions" sebagai tajuk utama, hal tersebut menjadikan susunan buku yang dicetak pada medio September 2020 ini selayaknya biografi politik Joko Widodo pada tahun awal di periode kedua pemerintahannya. 

Judul utama tersebut ditambah dengan anak judul, “Jokowi and the Struggle to Remake Indonesia”, yang memberikan gambaran dari upaya keras Jokowi selaku pemimpin Indonesia, untuk membawa perubahan bagi negaranya. 

Dengan begitu, maka makna kontradiksi tidak menjadi sebuah label negatif. Mengapa begitu? Karena upaya untuk merumuskan resolusi dari seluruh potensi persoalan yang hendak didamaikan oleh Jokowi, memang bisa dan sangat mungkin dilakukan dengan mengambil jalur kontradiktif. 

Ibarat nakhoda kapal yang mengarungi celah sempit di antara dua batu karang besar, bukan tidak mungkin benturan-benturan akan terjadi sebagai konsekuensi logis. Hal tersebut seolah menjadi sebuah pilihan yang sulit untuk dihindari. 

Pertanyaan pentingnya adalah, apakah arah tujuan sang nahkoda telah selaras dengan kepentingan para penumpangnya, serta mampu memberikan kepastian bagi keselamatan seluruh penghuni kapal? Sekaligus memberikan jaminan agar kapal tidak karam karena berulang kali benturan keras itu terjadi? Kita tentu hanya akan mengetahui hasilnya di akhir cerita. 

Berbagai narasi yang disusun Bland, diambil dari hasil berbagai hasil diskusinya secara langsung kepada Jokowi dalam kedudukannya sebagai koresponden Financial Times untuk Hanoi, Hong Kong, dan Jakarta. 

Di samping itu, Bland juga mendapatkan informasi dalam lingkar dalam di dekat kekuasaan, yakni sumber-sumber dekat yang langsung bersentuhan dengan Jokowi. 

Data pendukung dalam hasil penelitian tersebut diperoleh dari lingkar luar Jokowi, termasuk para simpatisan dan pendukung kekuasaan, tentu Bland juga mencermati perkembangan kepemimpinan dan isu-isu nasional melalui media massa. 

Imajinasi Keberpihakan 

Kemunculan dan keterpilihan Jokowi di panggung pentas politik Indonesia tentu tidak dapat dipisahkan dari berbagai faktor yang membantunya untuk terus naik level dari tingkat kota, provinsi hingga nasional. 

Sekurangnya ada dua kondisi yang melingkupinya, Pertama: kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi, sehingga tidak terdapat pilihan kader yang representatif, dan karena hal itu membutuhkan tambahan figur populer yang berasal dari luar organisasi. 

Kedua: praktik politik transaksional terjadi secara pragmatis dalam upaya memenangkan kontestasi, sehingga membuat dukungan politik disertai kalkulasi politik untung-rugi. 

Kemenangan Jokowi dimulai dengan peta politik daerah Solo, yang pada dasarnya dikuasai mayoritas serta telah menjadi lumbung suara PDI Perjuangan. Perpindahan Jokowi dari sebelumnya seorang pebisnis, untuk terjun ke kancah politik, menjadi menarik untuk dilihat. Terutama dalam kemampuan Jokowi mengelola peran dengan citra positif, menjadi sebuah harapan baru, membangkitkan kisah from zero to hero, dari bukan siapa-siapa menjadi luar biasa. 

Tidak hanya sekali Jokowi memenangkan kontestasi politik, melainkan berulang kali. Rangkaian kemenangan itu, memberikan isyarat penting tentang resep mujarab keterpilihan Jokowi, bagaimana pesan persuasi itu disampaikan kepada khalayak. 

Tentu tidak dapat dipungkiri, sebagian besar dari faktor penentu kemenangan Jokowi disebabkan oleh terbentuknya persepsi publik atas imaji Jokowi yang berpihak wong cilik serta merakyat. 

Figur kepemimpinan Jokowi tampilkan mampu mewakili kelompok marjinal, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari mayoritas publik, dengan kesuksesan untuk menapaki jalur dari tangga terbawah hingga mencapai puncak tertinggi. Kelincahan dan kelihaian ala pengusaha, membuka ruang bagi Jokowi terbuka lebar. 

Bentuk yang tidak terlupakan, adalah tentang gaya kepemimpinan yang penuh dengan improvisasi lapangan. Blusukan menjadi cara baru yang diakui membangun relasi kedekatan jarak dengan publik. 

Kelekatan impresi itu, membangun konstruksi kepemimpinan yang dinilai mampu membawa amanat dan legitimasi publik akan harapan di masa depan. Bersamaan dengan itu, kemenangan di tingkat Provinsi DKI Jakarta, menjadi sangat strategis dan signifikan dalam mengangkat karir politiknya melesat cepat. Meski terbilang sangat singkat, karier Jokowi kembali moncer di tingkat nasional, pada 2014. 

Bintang terang itu begitu pesat. Kepemimpinan di periode kedua kali ini menjadi episode pertaruhan akhir bagi Jokowi, tentang bagaimana dirinya akan mengakhiri masa berkuasa, serta apa warisan (legacy) yang ditinggalkan. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah seperti apa Jokowi akan dikenang dalam lembaran sejarah bangsa. Hal-hal ini merupakan puncak dari tahap kepemimpinan Jokowi. 

Pilihan Kontradiksi 

Dalam kajian Bland, Jokowi memulai proses kontroversi pada perulangan keterpilihan untuk kedua kalinya. Istilah kontradiksi, memuat konsep pertentangan, atau berkaitan dengan hal-hal yang berlawanan. Beberapa tampilan kontroversi tersebut dimunculkan ke publik. 

Selama ini, Jokowi teridentifikasi sebagai bagian publik, bukan trah elite, tidak berasal dari kelompok ningrat politik. Lambat laun situasi ini berubah manakala anak hingga mantu mulai masuk kancah politik untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Ilustrasi ini terlepas dari hak konstitusional, melainkan berpotensi terhadap masalah di ruang etik. 

Lebih jauh lagi, citra bersih dan antikorupsi, kemudian seakan berlawanan dengan terciptanya gelombang massa mahasiswa dan pelajar yang menolak perubahan UU KPK. Bagaimana mungkin Jokowi yang dianugerahi Bung Hatta Anti Corruption Award karena dianggap mewakili peran pemerintahan yang bersih dan berwibawa, kini bertindak menjadi pengadil bagi KPK. 

Kemauan Jokowi untuk menguatkan kapasitas ekonomi bangsa, dengan penguatan berbagai sarana infrastruktur yang ditujukan bagi upaya membangun kemandirian sebagai manifestasi konkret konsep ekonomi berdikari ala Bung Besar, tampak menjadi berbeda dengan keinginan untuk menjadi lahan investasi bagi kepentingan luar negeri. 

Hal yang terbilang menarik dari keterpilihan Jokowi di periode kedua, adalah dinamika yang terjadi saat dimulainya kontestasi dan sesudahnya. Pemilihan KH Maruf Amin sebagai pasangan calon, merupakan hasil kalkulasi yang anomali, karena dikenal sebagai tokoh yang terkait langsung dengan Gerakan 212. 

Bahkan lebih menghebohkan lagi setelah itu, menggandeng Prabowo selaku lawan politiknya untuk masuk ke dalam barisan kabinet. Politik akomodasi yang juga disebut pula sebagai mekanisme transaksional ini, menguatkan sendi oligarki. Di lingkup kecil wilayah kekuasaan dibagi dan didistribusikan. 

Karakter Jokowi yang kuat dalam disiplin eksekusi yang merupakan improvisasi lapangan, agaknya berlangsung tidak selaras dengan arah tujuan besar bagi kepentingan publik. Terutama pada isu yang menghasilkan diskusi publik, seperti pemindahan Ibukota yang belum pernah dimunculkan sebelumnya. 

Begitu pula dengan model penyelesaian konflik Papua, meski berkunjung berulang kali dan membangun sejumlah infrastruktur, namun masih menggunakan model pendekatan keamanan. 

Dalam persoalan yang aktual, bersamaan dengan kehadiran pandemi Covid-19, kepemimpinan Jokowi diuji untuk mengatasi dua hal secara bersamaan, problem kesehatan dan masalah ekonomi. Problem utama yang dihadapi adalah tentang gerak kepemimpinan. Termasuk pilihan sikap yang terlihat condong untuk antisains di tahap awal kemunculan virus tersebut. 

Momen Reflektif 

Secara keseluruhan, bingkai yang diajukan oleh Bland memang kontroversial. Dalam hal ini, buku tersebut sudah pasti akan memancing perdebatan, dan kita berharap ada diskusi akademik yang ilmiah, dalam mengulas aspek kepemimpinan secara lebih jauh. 

Sebab sejarah akan mengajarkan berbagai pesan penting bagi perubahan dan perbaikan bagi bangsa ini di masa depan. Tulisan Bland bisa ditempatkan sebagai sarana evaluatif, melihat tahun pertama di periode kepemimpinan kedua, untuk menjadi faktor koreksi di sisa waktu yang tersedia. Masih ada waktu untuk berbenah. 

Hal itu menjadi lebih penting untuk dikaji, karena bagaimanapun Jokowi adalah pemimpin terpilih. Apa yang kurang dari telaah Bland adalah aspek sosiologis, bahwa Jokowi memenangkan kontestasi berulang kali merupakan bentuk adaptif dari pragmatisme sosial. 

Dengan begitu, Jokowi dapat dipahami sebagai produk sosial, publik melihat apa yang tampak terbuka, meski banyak ruang tertutup, di situ kontradiksi bekerja. 

Pada teori komunikasi, Erving Goffman menyebut Dramaturgi, bahwa panggung laku kehidupan dan interaksi sosial tidak ubah bak lakon drama. Para aktor memainkan peran, tampil di panggung depan melewati layar teater, disaksikan para penonton. Publik tidak melihat bagaimana panggung belakang bekerja, padahal seluruh persiapan dilakukan di sana. 

Jokowi sedang memainkan peran kepemimpinannya, dan tentu kita berharap di periode terakhirnya kali ini, akan dapat bertemu ruang harapan dan kenyataan yang terbaik bagi kehendak publik. Kita perlu kembali mengingatkan arah kekuasaan, untuk kembali ke akar kepentingan publik, agar tidak terdistorsi kepentingan elite. Peran oposisi itu kini dimainkan secara mandiri oleh publik itu sendiri, setelah konsolidasi koalisi di pemerintahan dan dewan legislatif telah efektif berlangsung. 

Di bagian akhir, penelitian Bland banyak mengulas atas apa yang telah dilewati, dan dengan itu memungkinkan kita untuk membuat proyeksi atas tendensi yang akan terjadi. Tentu ruang harap masih tersisa pada pilihan anak judul dari buku tersebut, "Jokowi and the Struggle to Remake Indonesia". Sebagaimana ditulis Bland, bagi Jokowi kekuatan terbesarnya adalah ketika diremehkan berbagai pihak. 

Tentu berbagai kemenangan kontestasi yang telah diraih itu, harus ditujukan pada kebaikan dan kebermanfaatan bagi publik, dan bukan untuk sekelompok elite oligarki semata.

Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid