Salah Kaprah BIN Dan Ancaman Pidana

Pasukan Rajawali BIN/Net
Pasukan Rajawali BIN/Net

BIN adalah Badan Intelijen Negara yang mencari data, mengolah, menganalisis dan mengalokasikan info atau analisisnya kepada elemen negara seperti Presiden, Kementrian, atau lembaga lain yang kompeten dan berkepentingan. 

BIN bukan lembaga kepolisian dan ketentaraan yang bersandarkan pada kekuatan fisik atau persenjataan. 

BIN di era pemerintahan Jokowi justru menunjukkan pergeseran paradigma. Di masa Covid-19 ini lucunya BIN seperti lompat ke kiri kanan hingga urusan penyemprotan desinfektan di bandara juga pernah di bawah kendalinya. 

Yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah saat BIN pamer pasukan khusus yang bersenjata lengkap. Pasukan Rajawali sebutannya. 

Kemunculan tiba-tiba pasukan bersenjata lengkap seperti Brimob atau Densus bahkan Kopasus ini tentu mengejutkan. Seperti sulap saja "ujug-ujug" Abrakadabra atau Bim Salabim yang karena di arena BIN menjadi Bin Salabin.Pamer aksi di depan petinggi berbagai Angkatan dalam rangka Inaugurasi peningkatan statuta Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Sentul Bogor Jawa Barat. 

Kontroversi tentu terjadi. Persoalan utama adalah apakah layak atau haruskah BIN memiliki pasukan khusus bersenjata lengkap untuk pelaksanaan tugas operasinya. Adakah dasar hukumnya? 

Jika tidak ada, maka apa yang menjadi konsekuensi hukum yang diakibatkannya? Semua harus mengacu pada UU No. 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara. 

Prinsip kerja BIN adalah kerahasiaan. Kekuatan yang dimiliki tidak boleh diketahui umum. Asasnya adalah profesionalitas, kerahasiaan, kompartementasi, koordinasi, integritas, netralitas, akuntabilitas, dan obyektivitas (vide Pasal 2). 

Adapun tujuan intelijen negara bukan pada pengerahan kekuatan bersenjata melainkan untuk "mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen dalam rangka peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai ancaman.." (vide Pasal 5). 

Sudah pasti setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen. Dan atas pembocor dapat dikenakan pidana dengan ancaman 10 tahun penjara dan/atau denda 500 juta rupiah. 

Menunjukkan atau memamerkan kekuatan dapat dikualifikasi membocorkan "fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan dan atau personel intelijen negara". Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum yang dalam Pasal 46 UU No. 17 tahun 2011 terancam pidana 10 tahun penjara dan/atau denda 500 juta tersebut. 

Oleh karenanya keberadaan pasukan Rajawali yang dipertontonkan BIN sudah jelas perbuatan salah kaprah. BIN bukan Polri atau TNI yang berhak memiliki pasukan keamanan atau kombatan. 

Orang bertanya fungsi pasukan ini apa? Asumsi ekstrim sampai pada komentar jangan-jangan ini adalah "Angkatan Kelima" atau pasukan khusus model "Cakra Birawa". Perlu ada klarifikasi. 

Sementara itu memamerkan kekuatan yang ada adalah perbuatan "pembocoran" yang dapat dikenakan delik pidana. Kepala BIN harus bertanggungjawab. Presiden selayaknya memberi sanksi pencopotan dan segera memerintahkan untuk dilakukan pengusutan. 

Jika Presiden adalah pihak yang memerintahkan maka Presiden dapat ditarik sebagai turut serta dalam perbuatan pidana tersebut (doen plegen) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP.

Pemerhati politik dan hukum