BPD-PKS Diminta Transparan Soal Dana Sawit Agar Pemerintah Daerah Dapat DBH

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti/Net
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti/Net

Pemerintah daerah penghasil sawit menghadapi masalah dari tidak adanya dana bagi hasil dari puluhan triliun rupiah yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD-PKS).


“Sebenarnya niat Presiden Joko Widodo membentuk BPD-PKS baik. Karena badan itu bertugas melakukan peran penelitian, pengembangan, dukungan prasarana, promosi dan peremajaan kelapa sawit. Badan ini juga untuk mendukung program Energi Baru Terbarukan melalui pengembangan Bio Diesel B-30,” kata Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. 

Hal ini disampaikan LaNyalla dalam focus group discussion (FGD) tentang dana bagi hasil sawit untuk provinsi di dapur redaksi harian Fajar di lantai 4 Graha Pena Makassar, Sabtu (26/9). 

Acara ini turut dihadiri oleh sejumlah gubernur yang tergabung dalam 21 provinsi penghasil sawit. Hadir sebagai panelis, Ketua Komite IV Sukiryanto, Wakil Ketua Komite II Bustami Zainuddin, dosen pasca sarjana UIT Makassar Dr Abdul Talib Mustafa dan hadir secara virtual, ahli perencanaan pembangunan Dr Son Diamar. 

Tampak pula hadir Senator asal Sulawesi Selatan Lily Amelia Salurapa dan tuan rumah Direktur harian Fajar Faisal Syam. 

LaNyalla mencatat, di tahun 2019, BPD-PKS mengelola dana Rp 47 triliun yang berasal dari bea keluar dan pungutan ekspor CPO. 

Namun, untuk mendukung program-program di sektor hulu, khususnya untuk petani sawit masih sangat minim. Apalagi untuk pemerintah provinsi penghasil, sama sekali tidak ada. Padahal jalan dan infrastruktur di provinsi juga digunakan oleh perkebunan kelapa sawit. 

Daerah juga mendapat dampak dari kasus kebakaran lahan dan pencemaran lainnya. Tidak hanya itu, BPD-PKS juga punya banyak kelemahan. 

Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit tahun 2018, terdapat 5 perusahaan sawit yang memperoleh dana dari BPD-PKS sepanjang Januari hingga September 2017, dengan total dana sebesar Rp 7,5 triliun. 

Perusahaan-perusahaan tersebut, antara lain, Wilmar Group Rp 4,16 triliun, Darmex Agro Group Rp 915 miliar, Musim Mas Rp 1,54 triliun, First Resources Rp 479 miliar, dan LD Company Rp 410 miliar. 

Di tahun 2020, Kementerian ESDM sudah menetapkan sebanyak 18 industri bio-diesel yang juga memiliki konsesi perkebunan skala besar mendapatkan jatah pendanaan untuk pengembangan B-30. 

Namun Kementerian ESDM tidak mencantumkan syarat khusus bagi industri tersebut untuk mengambil bahan baku dari koperasi-koperasi petani. Kondisi ini yang kemudian merugikan petani sawit. 

“Jadi, kesimpulan yang kita dapatkan memang harus dilakukan kajian tentang transparansi pengelolaan dana sawit oleh BPD-PKS. Sekaligus, mengupayakan perbaikan, sehingga terjadi perubahan kebijakan, agar daerah penghasil, atau provinsi juga mendapatkan DBH sawit. Seperti halnya DBH migas dan pajak,” bebernya

Untuk mewujudkan hal ini, sambungnya, harus dilakukan Revisi UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Termasuk Tupoksi BPD-PKS. DPD RI sudah memasukkan agenda Revisi UU 33/2004 tersebut. Karena bagi kami, memang sudah waktunya dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian. 

“Untuk itulah, kami dari DPD RI membutuhkan pemikiran dan pandangan dari beberapa kalangan melalui serial diskusi ini. Dan tentu dengan melihat lebih cermat apa yang akan diakomodir dalam Omnibus Law yang sekarang sedang dibahas,” pungkasnya seperti dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL.