Demonstrasi Bagian dari Tatanan, Potensi Kericuhan Selalu Ada

Aksi Demonstrasi di Surabaya
Aksi Demonstrasi di Surabaya

Kericuhan kericuhan yang terjadi di banyak daerah ketika aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law, bisa jadi awal dari suatu kelompok yang tidak setuju dengan  pemberlakuan undang undang dari pemerintah.


"Tetapi, bisa saja itu adalah akhir dari sebuah perlawanan, karena perlawanan perlawanan yang mereka perjuangkan selama ini, tidak pernah terdengar," kata pengamat sosial Universitas Brawijaya Malang, Wayan Suyadnya, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, (10/10).

Demonstrasi, kata Wayan, adalah bagian dari sebuah tatanan. Karena mereka datang melakukan dengan tujuan yang jelas. Oleh sebab itu, harus bisa membedakan antara sebuah kelompok dengan sebuah kerumunan.

"Mereka adalah bagian dari tatanan. Mereka adalah kelompok. Saya tidak sependapat kalau mereka dibilang kerumunan. Karena kerumunan tidak punya tujuan yang jelas. Faktanya,  mereka (mahasiwa dan buruh) datang dengan tujuan yang jelas," lanjut Wayan. 

Wayan menjelaskan, potensi kericuhan dalam sebuah demonstrasi selalu ada. Tetapi, bagaimana langkah pemerintah bisa mengendalikan. Misalkan, pada aksi kemarin, harusnya pemerintah bisa menemui para demonstran guna menampung suara demonstrans, sehingga bisa meminimalisir kericuhan.

Kedua, lanjut Wayan, kepolsian dan para demonstran harus terus berkomunikasi agar terjalin ketertiban.

"Para kelompok demonstrans, juga harus saling terus komunikasi sesama kelompok demonstrans. Kenapa? Agar mereka tahu apakah di sekitaran mereka ada orang tak dikenal sebagai pengacau atau tidak?" lanjut Wayan.

Tetapi, kericuhan demi kericuhan terjadi dimana-mana ketika terjadi aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Maka, lanjut Wayan,  ada dua hal  yang dipertanyakan. 

"Pertama, apakah demonstran tidak mematuhi aturan pengorganisasian yang telah disepakati? Atau justru kepoliisian melihat, bahwa dirinya bukan sebagai penjaga ketertiban, tetapi merasa dirinya sebagai lawan dari para demonstran," tutupnya.