Bayar Rp 80 Juta Eksekusi Mandeg, Pejabat PN Diadukan Ke Presiden

Advokat Hendrik bersama warga menunjukkan surat pengaduan ke Presiden/RMOLJatim
Advokat Hendrik bersama warga menunjukkan surat pengaduan ke Presiden/RMOLJatim

Linggaryanto Budi Utomo, Pemohon eksekusi tanah seluas setengah hektar lebih di kawasan Jalan Karah Tama Asri II Surabaya mengadukan pejabat Pengadilan Negeri Surabaya ke Presiden Joko Widodo. 


Hendrik RE Assa, SH,MA, MH selaku kuasa hukum Linggaryanto mengatakan, pengaduan tersebut dilakukan lantaran tidak puas dengan kinerja penjabat Pengadilan Negeri Surabaya yang dinilai menghambat proses pencari keadilan untuk mendapatkan kepastian hukum atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

"Kami sudah bayar biaya eksekusinya sebesar Rp 80 juta dan telah melakukan kordinasi dengan polisi tapi sampai sekarang tidak dilaksanakan juga," kata Hendrik saat press rilis dengan wartawan, Rabu (14/10).

Ironisnya, Hendrik justru mendapat kabar tak sedap dari Ketua Pengadilan Negeri Surabaya yang saat itu dijabat oleh Nursyam. Saat bertemu, Nursyam mengatakan ekseksusi tidak dapat dilaksanakan karena pihak termohon (dalam perkara perdata sebagai penggugat) melakukan perlawanan Peninjauan Kembali (PK). 

"Waktu itu Nursyam berdalih menurut hemat dia tidak bisa dilakukan ekseksusi karena ada PK. Ini yang menurut saya aneh, karena landasan yang dipakai bukan Undang-Undang tapi hanya persepsi dari seorang hakim yang juga menjabat ketua pengadilan," ungkapnya.

Dengan dasar itulah, Hendrik yang telah mendapat kuasa dari Linggaryanto melaporkan Nursyam  dan Panitera Pengadilan Negeri Surabaya, Jamaluddin ke Presiden Joko Widodo dan Mahkamah Agung serta institusi terkait termasuk Komisi III DPR RI. 

"Kita adukan dua kali tapi baru Komisi Yudisial yang membalas pengaduan ini dan rekomendasi KY akan diserahkan  ke Bawas MA. Tapi sampai sekarang juga belum ada tindak lanjutnya," terangnya.

Sementara itu, Mukminatus Sholihah salah satu warga Karah Tama Asri II yang menjadi korban jual beli tanah pada objek eksekusi tersebut berharap Pengadilan Negeri Surabaya untuk segera memberikan kepastian hukum padanya. 

"Saya ini juga korban, saya membeli tanah itu ternyata bermasalah, tapi saya dan beberapa warga sudah berdamai dengan pemohon sejak 2018, tapi ada warga yang tidak mau damai dan melakukan gugatan dan kalah. Sekarang mereka inilah menjadi termohon ekseksusi," terangnya. 

Senada juga disampaikan Devi, wanita berparas cantik ini berharap agar masalah tanah dengan sertifikat hak milik (SHM) nomor 26 segera dibisa eksekusi. 

"Yang jelas kami ingin punya sertifikat, karena kita juga sudah lama tinggal disitu. Apalagi perkara inikan sudah inkracht. Tunggu apa lagi, kita ingin ada kepastian hukum supaya kami bisa urus sertifikatnya," tukasnya.

Diketahui, kasus ini bermula saat para warga membeli tanah dari mafia tanah bernama Djaimun Waluyo.

Merasa ditipu, para warga berbondong-bondong melaporkan kasus ini ke Polda Jatim. Djaimun Waluyo dilaporkan setelah para warga mengetahui tanah yang ditempatinya sebagai rumah huni itu milik PT Kalpataru.

Atas kasus tersebut, Djaimun Waluyo telah dihukum bersalah melakukan tipu gelap.