IPPHTI Nilai UU Ciptaker Sulitkan Pemerintah Wujudkan ‘1000 Desa Mandiri Benih’

Ketua IPPHTI, Kustiwa Adinata/Repro
Ketua IPPHTI, Kustiwa Adinata/Repro

Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) menilai pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker) menyimpan masalah.


Menurut Ketua IPPHTI, Kustiwa Adinata, dihapuskannya Pasal 63 UU 13/2010 tentang Hortikultura dalam Pasal 30 UU Cipta Kerja membuat tidak ada lagi aturan yang  mewajibkan izin pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah negara Republik Indonesia.

“Dengan begitu benih komersial dari luar bebas masuk dan beredar di wilayah Republik Indonesia. IPPHTI berpandangan UU Cipta Kerja justru akan semakin menyulitkan upaya pemerintah Indonesia mewujudkan ‘1000 Desa Mandiri Benih’ yang telah ditargetkan sejak tahun 2014 lalu,” ujar Kustiwa dalam keterangan tertulis yang diterima Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (14/10).

Ditambahkan Kustiwa, situasi juga diperburuk dengan dihapusnya Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) dalam UU 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) yang mengatur tentang syarat permohonan perlindungan varietas tanaman.

“Hal ini akan membuat varietas transgenik lebih mudah didaftarkan dan diedarkan. Kondisi demikian tentunya harus diperhatikan mengingat dapat mengancam varietas lokal yang dibudidayakan oleh petani”, tutupnya.

Atas dasar itu, IPPHTI bersama Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI) yang tergabung dalam Badan Musyawarah Tani dan Nelayan Indonesia (Bamustani) menyatakan menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Bamustani mendesak Presiden RI tidak menandatangani UU Cipta Kerja, atau membatalkan UU Cipta Kerja melalui Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pemerintah dan DPR-RI juga harus melakukan excecutive review dan legislative review sesuai dengan wewenang masing-masing dalam peraturan perundang-undangan.

Apabila upaya tersebut tak dilakukan, Bamustani akan mengajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi RI dan terus menyuarakan penolakan melalui aksi-aksi di daerah dan nasional sampai dengan UU Cipta Kerja tidak berlaku.