Jumlah Halaman UU Ciptaker Kerap Berubah, Pakar: Itu Melanggar Hukum Tata Negara

Bivitri Susanti / ist
Bivitri Susanti / ist

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menyebutkan tak bisa seenaknya ubah isi UU Cipta Kerja.


Banyak didapati pelanggaran prosedural ketatanegaraan dalam proses pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja (Ciptaker). 

Tidak hanya proses, secara prinsip pun omnibus law UU Ciptaker dinilai keliru.

Sempat terjadi perubahan jumlah halaman naskah omnibus law UU Ciptaker setelah disahkan di Rapat Paripurna DPR RI pada Senin (5/10) lalu. 

Demikian disampaikan pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, dalam diskusi Smart FM bertajuk "Omnibus Law dan Aspirasi Publik", Sabtu (17/10). 

"Pertanyaannya, apakah mengubah-ubah naskah dan lain sebagainya, itu melanggar hukum tata negara secara prosedural? Iya. Melanggar prinsip? Iya juga. Jadi, ini praktik yang sangat buruk dalam catatan kami, bahkan ini yang terburuk ya dalam proses legislasi selama ini, terutama pascareformasi," beber Bivitri Susanti, dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL.

"Kita tahu beredar (draf) 905 halaman, nah itu kemudian ada 1.052, 1.035, terakhir 812, saya hampir hafal. Saya mencoba menelusuri, karena diminta. Kalau mau kritis, kritisnya yang benar dong. Sumbernya yang mana? Karena masing-masing itu berbeda-beda," imbuhnya. 

"Itu sudah harus ada naskah finalnya. Itu kelaziman dan diatur Undang-undang," tegas Bivitri. 

Bivitri juga menilai ada yang tidak wajar dalam proses persetujuan UU Ciptaker saat masih menjadi RUU pada tingkat 1. 

"Pada saat pembahasan ataupun persetujuan tingkat 1 itu yang terjadi pada RUU Cipta Kerja ini adalah pada hari Sabtu 3 Oktober di atas jam 22.00 WIB. Ini juga tidak wajar ya sebenarnya," tuturnya.

Bivitri juga menyesalkan pengesahan UU Ciptaker terlalu dikebut oleh DPR dan pemerintah. Pasalnya, Rapat Paripurna DPR yang dijadwalkan tanggal 8 Oktober malah dipercepat menjadi 5 Oktober 2020.

"Nah ini kita tahu, begitu terburu-buru. Bahkan juga ada keinginan yang sangat luar biasa untuk mempercepat rapat (Paripurna) dari tanggal 8 Oktober ke 5 Oktober tanpa pemberitahuan yang memadai. Ini juga menyalahi prosedural," sesalnya.