Hasil visum yang digunakan alat bukti oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus dugaan asusila di sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI), tidak bisa dijadikan untuk menerangkan kejadian atau keadaan medis di masa lampau.
- Soal Dugaan Penodaan Agama Pelapor Kekerasan Seksual Sekolah SPI, Arist Merdeka Sirait: Mana Produk Hukumnya yang Melarang
- Kawal Dugaan Penodaan Agama Pelapor Kekerasan Seksual Sekolah SPI, Komunitas Anti Penista Agama Surati Jokowi dan MUI
- Pelapor Kekerasan Seksual Sekolah SPI Dilaporkan Atas Dugaan Penodaan Agama
Demikian disampaikan Dokter Abdul Aziz SpF, Kepala Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD dr Soetomo Surabaya dikutip awak media, Senin (15/8).
Menurut Azis, yang namanya visum seharusnya dimintakan tidak lama setelah kejadian atau peristiwa. Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui kondisi objek pada saat kejadian.
"Visum itu (harus) dimintakan segera setelah kejadian itu. Apa yang didapatkan itulah yang dituangkan di dalam visum. Otentik, karena apa, untuk menerangkan (Kondisi) ketika itu, bukan (kondisi) yang dahulu," bebernya.
Untuk diketahui, peristiwa yang dilaporkan SDS terhadap JE adalah peristiwa yang sudah lama. Namun baru dilaporkan pada tahun 2021 berikut hasil visumnya.
Sebagaimana dalam sangkaan terhadap JE, sebelumnya pelapor yang merupakan korban dugaan kekerasan seksual merasa tertekan atas peristiwa yang dialami pada 12 tahun lalu. Tapi kasus tersebut memang baru dilaporkan SDS pada akhir tahun 2021 lalu setelah 12 tahun merasa tertekan.
Hal ini menurut kuasa hukum terdakwa JE, Jeffry Simatupang, bahwa visum tersebut tidak bisa merepresentatifkan kejadian lama yang berkisar antara tahun 2008 hingga 2011.
Lanjut Jeffry, dari awal pihaknya telah memastikan bahwa hasil visum dalam perkara ini tidak bisa membuktikan tuduhan cabul yang didakwakan pada JE.
Fakta yang telah diungkap di persidangan, pelapor SDS diketahui menginap bersama pacarnya di sebuah hotel sebelum melakukan visum.
"Sejak awal kami sudah nyatakan bahwa visum itu tidak bisa lagi membuktikan peristiwa yang sudah lampau, apalagi peristiwa 12 tahun lalu. Ditambah ada fakta persidangan bahwa ternyata pelapor beberapa bulan sebelum visum menginap di hotel dengan pacarnya selama 15 hari," ungkapnya, Senin (15/8).
Lanjut Jeffry, seandainya fakta ini diketahui sewaktu proses penyelidikan maka perkara ini tidak akan sampai masuk ke ranah pemeriksaan pengadilan.
"Fakta ini baru muncul di pengadilan. Andaikata fakta ini sejak awal diketahui oleh pihak kepolisian kami yakin perkara ini tidak akan sampai ke pengadilan," kata dia.
Karenanya Jeffry berkeyakinan, bahwa kliennya tidak bersalah. Karena peristiwa yang dituduhkan pelapor tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi.
Dari hasil fakta persidangan, Jeffry juga memastikan tidak ada satupun alat bukti yang dapat menjerat JE untuk dipidana dengan tuduhan pencabulan atau kekerasaan seksual.
"Dan sekali lagi seluruh alat bukti sudah dihadirkan termasuk visum, tidak ada satupun alat bukti yang dapat membuktikan klien kami melakukan kekerasan seksual ataupun pencabulan, bahkan kami dapat membantah dengan alat bukti yang kami miliki bahwa memang perbuatan tersebut tidak pernah terjadi," tandas Jeffry.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- DKPP Periksa M Agil Akbar Anggota Bawaslu Surabaya Terkait Kasus Asusila
- Kasus Mencengangkan! Santriwati Dihamili Kiainya di Probolinggo, Kiai Terancam Hukuman Berat!
- Cabuli Anak Tirinya, Seorang Pria di Jember Dibekuk Polisi