Alhambra, Istana Indah Menakjubkan

Foto dok
Foto dok

ALHAMBRA masih berdiri kokoh. Ia masih menawan, masih menarik siapapun penyuka wisata untuk menikmati keindahannya. Umumnya, para wisatawan tak cuma mengagumi bangunannya yang sangat eksotis dengan tingkat presisi tinggi, namun yang tak kalah menarik bagi wisatawan adalah sejarah yang tersimpan dalam bangunan ini.

Kompleks istana sekaligus benteng ini dibangun pada 1238 oleh Abu Abdullah Muhammad ibn Yusuf ibn Nasr yang akrab disebut sebagai ''Ibn al Ahmar'' (Putra Sang Merah). Ia penguasa pertama Granada di bawah imperium muslim Andalusia. Arsitektur kompleks ini sangat rinci dan padat. Setiap sisi tampak solid, apalagi pintu masuk kompleks dinamai sebagai ''Gerbang Keadilan'' (Puerta de la Justicia). Menjadikan kompleks ini bukan saja indah nan menawan, tapi juga kokoh sebagai tempat bertahan dari gempuran lawan.

Selama bertahun-tahun sejak istana Alhambra dibangun, imperium muslim Andalusia menghadapi serangan bertubi-tubi dari pasukan gabungan Isabella dari Kastilia dan Ferdinand dari Aragon. Pasukan ini biasa disebut sebagai ''Reconquista''. Pasukan gabungan ini begitu bernafsu menaklukkan Granada karena kota ini menyimpan keindahan yang luar biasa. Selain penataan kota yang memang luar biasa bagus, juga keindahan itu memancar dari setiap sudut kota.  

Pada masa itu belum ada istana lain di Eropa yang dihuni oleh raja atau kaisar di luar imperium muslim, yang seindah Alhambra. Baik dari segi arsitektur, penataan maupun isi istana, bangunan-bangunan di Eropa di luar Andalusia rata-rata masih kasar, kurang artistik dan seperti dibentuk sekadar bisa dihuni. Itu semua dikarenakan kurang berkembangnya ilmu pengetahuan serta teknologi di Eropa pada masa kegelapan. Para raja atau ratu di Eropa masih hidup dalam alam mistik, tak rasional dan jauh dari pengetahuan.  

Sehingga mereka tak bisa mempraktekkan pengetahuan serta teknologi untuk membangun istana, benteng atau menata administrasi kota dengan baik. Raja dan ratu Eropa saat itu lebih mementingkan ketundukan total rakyatnya daripada berupaya membangun kebiasaan-kebiasaan berperilaku rasional dan cinta ilmu pengetahuan. Akibatnya, praktek-praktek pengetahuan ke dalam kehidupan sehari-hari relatif minim.

Ketika pasukan gabungan Isabella dan Ferdinand menundukkan pasukan Amir Muhammad XII di Granada pada 2 Januari 1492, pasukan gabungan itu seperti memperoleh ''durian runtuh''. Selain merampas wilayah yang begitu luas, pasukan gabungan itu juga rakus menjarah banyak benda berharga dari istana Alhambra. Mereka begitu kagum pada desain, arsitektur dan keindahan Alhambra yang tak pernah mereka temukan sebelumnya di wilayah lain. Selama 10 tahun sejak 1482, pasukan gabungan secara terus menerus menggempur Granda.

Setelah itu, keindahan Alhambra seperti terkubur dalam sejarah. Isabella dan Ferdinand bukanlah ratu dan raja yang punya perhatian besar pada hasil kebudayaan atau peradaban. Nafsu keduanya hanyalah menaklukkan wilayah, menguasainya lalu memaksa penduduk wilayah itu tunduk total pada monarki. Akibatnya, selama ratusan tahun kemudian keindahan Alhambra sengaja dilupakan. Sejak 1502 kerajaan Spanyol memaksa penduduk muslim dan yahudi untuk konversi ke kristianitas. Dan pada tahun 1609 terjadi pengusiran besar-besaran muslim dari wilayah kerajaan Spanyol.

Alhambra, bangunan istana yang terkenal dari dinasti Nasrid yang terletak di ibu kota muslim terakhir di Semenanjung Iberia, Granada, baru ditemukan kembali pada paruh pertama abad ke-19. Penemuan ini pada dasarnya berkat eksplorasi gabungan  Prancis, Inggris, dan kemudian Jerman. Eksplorasi ini rumit dan berbelit-belit, tetapi ditandai oleh tonggak sejarah yang terdiri dari teks dan gambar yang dihasilkan oleh penulis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan salah satu karya peradaban akibat pengaruh berkembangnya aliran romantisisme Eropa kala itu.

Pada dekade terakhir abad ke-18, penyair cum novelis Prancis, Jean-Pierre Claris de Florian (1755–1794), memperkenalkan karya bertajuk 'Gonzalve de Cordoue ou Grenade reconquise' (Gonzalo dari Cordoba, atau Granada yang Direbut Kembali). Dalam karya itu terdapat ringkasan sejarah bangsa Moor di Spanyol', yang sebagian ringkasan itu terfokus mendeskripsikan Alhambra. Di karya itu, sang novelis  menggambarkan kontras antara eksterior istana yang kacau dan beragam tempat hunian yang mewah. Ia juga menyinggung tentang suasana lokasi bertajuk ''Pelataran Singa'' yang akrab disebut Patio de los Leones yang terkenal. Lokasi itu berada di dalam kompleks istana Alhambra yang dihiasi dengan air mancur pualam.

Pada abad itu, keindahan Alhambra juga muncul di berbagai buku panduan wisata. Antara tahun 1807 dan 1818, Pangeran Alexandre dari Laborde (1773–1842) menerbitkan buku monumentalnya Voyage pittoresque et historique de l’Espagne (Perjalanan yang Indah dan Bersejarah ke Spanyol). Buku ini merekam hasrat akan hal-hal yang ‘indah’ yang telah merasuki literatur perjalanan selama beberapa dekade terakhir abad itu. Karya Laborde memperlihatkan piring-piring mewah istana, aula-aula utama dan pelatarannya, prasasti dan elemen dekoratif lainnya, serta bagian 'Pelataran Singa' di kompleks Alhambra.  

Berbagai informasi tentang Alhambra baru diperoleh para penulis abad ke-19 itu setelah bangsa Spanyol memberi perhatian terhadap Granada serta Alhambra. Perhatian yang baru timbul seabad usai pengusiran besar-besaran muslim dari semenanjung Iberia pada 1609. Adalah Raja Carlos III (memerintah Spanyol pada 1759–88) yang memberi perhatian itu dan khususnya perhatian juga diberikan oleh Akademi Seni Rupa Kerajaan San Fernando, yang didirikan di Madrid pada tahun 1752.

Ignacio de Hermosilla (1718–94) kemudian memulai proyek tersebut pada tahun 1756. Saat itu, ia menjabat sebagai sekretaris akademi, ia menugaskan seniman Manuel Sánchez Ximénez untuk menyalin ilustrasi-ilustrasi menarik di dinding Alhambra. Kemudian, pada tahun 1761–1762, Diego Sánchez Sarabia (1704–79) telah mengambil alih proyek tersebut. Ia menggambar sejumlah besar elemen dekoratif, khususnya ubin, fresko, dan prasasti, serta denah dan elevasi monumen.

Tatkala muncul keraguan pada akurasi dokumen-dokumen yang sudah disalin, lalu digelar proyek ketiga pada tahun 1766–1767 dengan tujuan untuk mengoreksi gambar-gambar Sarabia. Dua arsitek muda, Juan de Villanueva (1739–1811) dan Juan Pedro Arnal (1735–1805) direkrut untuk proyek tersebut dan ditempatkan di bawah pengawasan arsitek dan insinyur militer José de Hermosilla Sandoval (1715–76), saudara laki-laki Ignacio. Alih-alih mengoreksi kesalahan pendahulu mereka, tim tersebut memulai seluruh proyek dari awal, dengan menambahkan gambaran masjid Cordoba yang terkenal.

Hasilnya, sebuah karya bertajuk Antigüedades árabes de España (Beragam karya klasik Arab Spanyol), sebuah karya yang menggambarkan 29 piringan. Khusus Alhambra, terdapat 21 piringan, tiga berikutnya tentang katedral Granada dan lima sisanya terkait masjid Cordoba. Kini, karya tersebut bisa dilihat secara daring di website Biblioteca Digital Hispanica. Untuk proses penerjemahan inkripsi berbahasa Arab, dikerjakan oleh Miguel Casiri de Gartia (1710–1791), seorang pendeta Maronit, yang lahir dengan nama Mikhail al-Ghaziri. Ia menyelesaikan pekerjaan penerjemahannya pada tahun 1775.

Baru pada tahun 1787, dua puluh tahun setelah proyek terakhir dan berkat dukungan serta dorongan dari Count Floridablanca (1728–1808), yang saat itu menjabat sebagai sekretaris negara, volume pertama lempengan-lempengan itu akhirnya diterbitkan. Tanpa menunggu bagian epigrafis, yang masih dianggap belum lengkap.

Keputusan menerbitkan volume pertama ini barkaitan dengan penerbitan catatan perjalanan Henry Swinburne (1743–1803) pada tahun 1779, yang sebagiannya berisi enam lempengan, dikhususkan untuk Alhambra. Volume kedua, yang berisi gambar-gambar epigrafi dan terjemahannya oleh Casiri, direvisi dan dikoreksi oleh pustakawan raja, Pablo Loranzo (1749–1822). Volume ini baru terbit pada tahun 1804.

Akhirulkalam, tampaknya penggalian khazanah Granada sekaligus eksplorasi terhadap Alhambra semakin menguak kehebatan imperium muslim di Semenanjung Iberia. Banyak hal bisa dipelajari oleh para sarjana Barat terhadap hasil eksplorasi tersebut. Itulah warisan peradaban dunia untuk kemanusiaan.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news